Edgar mengamati Thalita yang baru saja selesai dari terapinya. Dengan di bantu oleh beberapa suster ia kembali menduduki kursi rodanya lalu seorang suster berambut pendek mengantarkannya ke tempat Edgar duduk sedari tadi.
Thalita tersenyum cerah. "Aku kira daripada mati kebosenan kamu memilih untuk pergi."
Edgar hanya menjawab celotehan Thalita dengan senyuman tipis. Ia mengangguk mengucapkan terima kasih pada suster dan beranjak dari duduknya mengambil alih kursi roda Thalita.
"Kita langsung pulang?" tanya Thalita ketika Edgar mendorongnya keluar dari ruangan terapi.
Edgar berdeham tanpa ada niatan menjawab. Ia bahkan tidak berani sekadar melihat bagaimana keadaan kaki Thalita yang jelas tidak bisa digerakkan.
Sejak awal terapi tadi, Edgar mati-matian menekan dadanya yang sesak. Perempuan yang dulu sangat Edgar sayangi begitu rapuh namun terlihat gigih dalam mencoba membuat kakinya kembali normal.
Sedikit-sedikit walaupun sulit Thalita sudah mulai bisa menggerakkan kakinya. Memang belum bisa di katakan maksimal tapi paling tidak perkembangan kesehatan kakinya melesat naik dari hari ke hari.
"Edgar," panggil Thalita mendongak menatap kedua bola mata Edgar yang lurus memandang depan. "Aku bahagia banget bisa ketemu kamu lagi." senyuman kebahagiaan terlukis di wajah Thalita.
Edgar tak bisa menahan keinginan hatinya lagi untuk menoleh pada Thalita. Ia menjatuhkan pandangan ke dalam mata jernih Thalita. Garis di wajahnya ikut terangkat ketika gadis itu tersenyum. Matanya yang memancarkan kebahagiaan terlihat begitu nyata.
Edgar menghela napas panjang, ia mengelus rambut Thalita lembut. "Thal, ini semua gara-gara gue kan?"
Thalita mengerutkan alisnya tak mengerti. Ia menggeser tubuhnya agar bisa melihat Edgar. "Huh?"
"Kaki lo lumpuh gara-gara gue."
"Ya," Thalita menurunkan pandangannya. Ia menatap kedua kakinya yang masih lemah. "Waktu aku ngejar kamu dulu. Aku gak liat-liat jalanan," hembusan napas berat keluar dari mulut gadis itu. "Aku sempet koma beberapa bulan dan saat aku sadar. Aku gak bisa gerakin kakiku. Dokter bilang ini hanya sementara. Kekakuan di kakiku bisa sembuh dengan cepat kalo aku terus-terusan terapi jalan."
Edgar merasa aliran darahnya menaik hingga ke atas kepala. "Lo... Koma?"
"Iya. Karena itu sekarang aku baru bisa masuk SMA."
"Lo..."
Thalita tersenyum seakan tau apa yang akan dilontarkan oleh Edgar selanjutnya. "Aku homeschooling."
Edgar tak lagi sanggup berkata-kata. Ia mendorong kursi roda Thalita semakin cepat. Ritme jantungnya berdegup tak beraturan. Sesak dalam hatinya masuk hingga ke relung jiwa. Seperti ada desakan hebat di bawah kelopak matanya, memaksa kumpulan kristal bening itu untuk jatuh.
Lelaki itu menghentikan langkahnya ketika mereka melintasi taman Rumah Sakit yang sepi. Edgar menunduk, memejamkan matanya sejenak sekadar mengistirahatkan isi kepala yang lebur. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.
Benar-benar hatinya hancur saat ini. Thalita lumpuh. Kehilangan semua harapannya karena ia seorang.Apakah semua orang yang Edgar sayangi harus berakhir dengan kehancuran? Dan sebabnya adalah karena dirinya?
Kalau iya. Haruskah Edgar menjaga jarak dengan semua orang terkasihnya sebelum kehancuran itu melanda mereka? Haruskah Edgar mengorbankan perasaannya lagi demi melihat orang terkasihnya bahagia?
Kalau memang itu yang terbaik. Maka Edgar akan lakukan semuanya.
"Edgar, kamu kenapa?" suara Thalita begitu khawatir. Ia mendongakkan kepalanya kembali, menyentuh tangan Edgar yang bergetar.
Lelaki itu menggeleng. Ia bergerak ke depan Thalita. Menumpu tubuhnya menggunakan kedua lutut yang ditekuk. Edgar menggenggam tangan Thalita hangat membuat perhatian gadis itu seluruhnya pada Edgar.
Dengan lirih Edgar menatap langsung ke dalam mata Thalita. "Thal."
Thalita terhenyak. Ia melepaskan genggaman tangan Edgar. Mengusap pipi lelaki itu yang basah dan memeriksa matanya yang memerah serta berair.
Gadis itu memandang khawatir Edgar. "Gar, kamu nangis?"
Edgar memaksakan satu senyuman. Ia menggeleng lemah, memegang punggung tangan Thalita yang berada di pipinya lalu menatap Thalita intens.
"Gue tau maaf aja gak akan cukup," ucap Edgar pelan. "Ya, gue berpikir buat bertanggung jawab," Edgar meraih kedua tangan Thalita dan menggenggamnya erat. "Gue akan jadi kaki lo. Melangkahkan kaki kemana pun yang lo mau sampai akhirnya lo bisa kembali jalan. Gue bakalan ada di samping lo. Jadi sepasang kaki yang paling indah buat lo."
Thalita mengatupkan mulutnya tak percaya. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca tanpa disangka ia melepas paksa genggaman tangan Edgar lagi dan langsung menarik lelaki itu dalam pelukannya.
"Aku tau, Gar, kalo kamu pasti akan kembali lagi padaku. Kamu masih sayang aku kan, Gar? Aku juga sayang kamu banget."Edgar membalas pelukan Thalita sama eratnya.
Pada akhirnya Edgar pun tau. Bahwa takdir akan berputar mengelilinginya tiada henti. Membuat benang kusut pada hidupnya yang berat dan ia harus bertanggung jawab membetulkan benang kusut itu menjadi lurus, kembali seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy's Effect
Teen Fiction♥PEMENANG THE WATTYS 2016 DALAM KATEGORI CERITA SOSIAL♥ Bad Boys Series #1: Bagi Lollypop, Edgar tak lebih dari seorang lelaki bengal dibalik penampilan kecenya. Lelaki yang menjadi terdepan saat ada kericuhan namun menjadi terbelakang saat guru men...