OtherwiseM presented
|| Fantasy, Married-Life, Romance, Sad, failed! Fluff || PG-16+ || Oneshoot ||
Oh, neraka sedang kebanjiran atau bagaimana sih? Kenapa hidupku jadi begini?
*Kilas balik dicetak miring.
.
.
.Berkas-berkas cahaya menyembur wajahku. Memaksaku terjaga. Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku tertidur. Kemarin ada sedikit masalah di perbatasan yang memaksaku pulang lebih larut dari biasanya. Hah, pekerjaanku sebagai penjaga perbatasan memang sering kali membuat repot.
Malas-malas aku membuka mata. Lalu jantungku langsung berdegup kencang saat wajah Joe mendadak terpatri tepat di hadapanku. Woah, untung aku tidak menendangnya atau apalah. Aku benar-benar kaget! Usia pernikahan kami yang baru seminggu ini membuatku masih belum terbiasa.
Tapi omong-omong, wajah damainya itu sangat menggemaskan! Membuatku ingin memeluknya saat ini juga. Oh, pelukan. Memikirkannya saja membuat wajahku memerah. Ah, apa yang kupikirkan?!
Joe saat terlelap begini bisa tampak lucu dan tampan dalam sudut pandang yang berbeda. Surai hitamnya berantakan--oh, kau pasti mengerti ia tampak bagaimana. Bulu mata panjangnya membuatku iri setengah mati. Hidung mancungnya ingin kugigit saja. Bibir tipisnya ... oke, cukup sampai di sini. Aku tidak akan melanjutkannya.
Saat kepalaku disibukkan dengan berbagai pemikiran tersebut, sekonyong-konyong Joe membuka mata. Membuat manik cokelatnya bersirobok dengan manik hitam milikku. Untuk beberapa detik, aku merasa jantungku berhenti berdetak. Aku lupa cara bernapas. Rasanya seperti ketahuan sedang mencuri--ya, aku memang sedang mencuri kesempatan untuk memandangi ketampanannya sih.
"K-kau su-sudah bangun?" Aku bersumpah tidak bermaksud bicara gelagapan. Tapi kenapa?
Joe hanya memandangku sejenak. Sebelum ia menarik napas dalam-dalam dan membalikkan tubuhnya membelakangiku. Menyisakan punggung lebarnya dalam jangkauan mataku.
Satu fakta yang sering kali menampar keras wajahku adalah ...
... bahwa Joe tidak mencintaiku.
****
Kala itu, usiaku baru menginjak tujuh tahun.
Ayah dan ibu mengajakku makan malam di luar. Katanya sekalian bertemu teman lama. Aku tentu saja senang. Apalagi mereka bilang ada taman bermain di sana. Langsung terbakarlah semangatku.
Namun kadang-kadang, semangatku yang berlebihan ini bisa jadi menyebalkan. Kami sampai lebih dulu dari jam yang dijanjikan. Wajahku langsung berubah cemberut. Ayah bilang aku harus menunggu sampai rekannya datang. Hal itu membuatku kesal. Ibu juga ikut-ikutan menyuruhku menunggu. Mereka punya anak yang seusia denganku. Tidak enak bermain sendiri, katanya.
Padahal satu-satu tujuanku pergi ke sini ya untuk bermain. Bahkan jika harus bermain seorang diri. Lagipula aku juga lebih sering bermain sendiri ketimbang bersama-sama. Tamannya juga ada di atap, sedang meja kami ada di lantai paling atas.
Pada akhirnya, lantaran tidak tahan melihat wajah cemberutku yang mengerikan, ibu mengizinkanku bermain ke sana. Beliau mengantarku sampai taman lalu memintaku menunggunya ke kamar kecil. Oh, alibinya mengizinkanku pergi itu rupanya.
Ngomong-ngomong soal taman, tempat ini sangat indah dengan dekorasi sederhana. Warna hijau menghampar sejauh mata memandang. Ada beberapa pohon rindang. Sebuah air mancur dengan patung angsa di tengahnya berada tepat di sentral taman. Bunga-bunga juga bermekaran dengan indah.