Ji Eun bingung dengan bermacam-macam benda di sekitarnya. Mulai dari semerbak lavender yang terhirup tatkala ia membuka mata, setumpuk boneka pikachu yang berderet rapi di jendela, serta lelaki yang terlelap damai di sampingnya. Oh, ya! Kini gadis berambut panjang tersebut dapat mengingatnya.
Saat seorang lelaki yang-ia-tak-ketahui-namanya mengulurkan tangan dengan seulas senyum di bibirnya. Ji Eun tanpa sadar melangkah, menggenggam tangannya erat menyalurkan kecemasan di hati. Ji Eun masih mengingat dengan baik seberapa cepat jantungnya beroperasi pada saat kedua tangan mungilnya tergerak membelitkan tali di lehernya.
Dan Ji Eun dapat mengingat saat dirinya terpeleset dan otomatis tak dapat menginjakkan kaki ke permukaan. Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, Ji Eun sempat mendengar teriakan histeris seorang lelaki. Lalu semua gelap. Lelaki inilah pelakunya. Lelaki yang telah menyelamatkan hidupnya yang malang. Lelaki yang menarik gadis jahat sepertinya dari lingkarang hitam yang membelenggu hidupnya. Mengingatnya, air mata Ji Eun mengalir turun.
Gadis itu perlahan mengangkat tangannya, berusaha meraih puncak kepala si lelaki. Mengelusnya lembut. Mengutarakan rasa terima kasih yang tak dapat terangkai dalam kata-kata.
Gadis itu tak bisa berhenti, bahkan setelah lelaki di sampingnya membuka mata. "Eung .... Ah, kau sudah bangun, Ji Eun!"
Deg! Senyum itu lagi. Jantung Ji Eun berdesir begitu cepat, melebihi kecepatan ombak tsunami yang biasa memakan ribuan korban jiwa. Tak ada sepatah kata pun yang dapat Ji Eun keluarkan. Hanya saliva yang berulang kali ia telan dengan gugup yang terdengar.
"Kau haus? Biar aku ambilkan minum ya!" Lelaki itu berujar dengan begitu lembut. Setelah mengacak kecil puncak kepala Ji Eun, ia berjalan keluar dengan penuh semangat. Namanya Jo Kwang Min. Seorang lelaki yang masih tetap dapat tersenyum meski dunia menentang keberadaannya.
Kwang Min berlarian kecil menuruni tangga. Ia tersenyum saat dua buah gelas air putih berada di genggamannya. Tak ada lagi tatapan pilu tatkala Kwang Min menatap meja makan yang dipenuhi hidangan menggairahkan tanpa seorang pun duduk di sana. Yang ada hanya secercah senyum ceria yang menambahkan kekuatan cahaya sang raja siang.
"Hei, kau kenapa tidak tidur saja dan menungguku?" Kwang Min bertanya sambil mengulurkan segelas air putih saat sosok gadis mungil itu berdiri di ambang pintu kamarnya, melongok ke kanan dan kiri dengan sorot bingung.
"Apa ini rumahmu?" Alih-alih menjawab, Ji Eun malah melontarkan pertanyaan yang ditanggapi kekehan kecil Kwang Min. Gadis itu mengambil alih salah satu gelas di tangan Kwang Min, meneguknya perlahan. Membiarkan tenggorokannya terbasahi.
"Tentu saja. Memang rumah siapa lagi?"
"Terima kasih."
"Oh ya, apa kau sudah ... merasa baikan? Um, maksudku yang kemarin itu ...." Sungguh, tak ada yang dapat Kwang Min katakan lagi saat ini. Kosakata seolah lenyap dengan mudah dari otaknya. Kwang Min takut perkataannya menyinggung hati Ji Eun. Mengingat cerita memilukan yang baru dia dengar semalam. Sebenarnya ragu juga bertanya, namun apa daya jika dirinya diselubungi rasa penasaran?
"Aku merasa lebih baik. Terima kasih." Seolah mengerti dengan ekspresi gugup Kwang Min, Ji Eun menimpalinya dengan datar. Bahkan suaranya masih dingin seperti pertama mereka bertemu.
Kwang Min bukanlah seseorang yang bisa menciptakan suasana menyenangkan untuk dirinya dan orang lain. Maka dari itu, ia mengajak Ji Eun sarapan bersama. Setidaknya untuk hari ini, Kwang Min tak merasa kesepian saat sarapan untuk pertama kali.
*****
"Kau tidak sekolah?" tanya Ji Eun saat keduanya melangkahkan kaki menyusuri kebun di belakang rumah Kwang Min.