Massa Kwang Min turun drastis. Jelas saja, terhitung 5 mangkuk bubur yang ia habiskan setengahnya selama 6 hari ini. Selebihnya, waktu yang ia miliki digunakan untuk menangis. Menghasilkan alunan nada yang mencabik hati siapa pun yang mendengarnya–terkecuali ayahnya, pasti.Kwang Min benar-benar membutuhkan gadis itu sekarang. Ia membutuhkan senyum manis Ji Eun agar setidaknya dapat melalui hari demi hari dengan sekepal semangat. Ia ingin memeluk gadis itu, menyalurkan kerinduan di hati. Namun kenyataannya, Kwang Min hanya bisa menangis. Memeluk boneka pikachunya yang sudah dipenuhi air mata dan kepedihan.
Besok, ia tak akan tersenyum pada matahari dari balik jendelanya. Besok, tak akan ada boneka pikachu sebanyak yang ia miliki di kamarnya. Besok, ia tak akan bisa menghirup udara kota Seoul. Dan besok, Kwang Min akan meninggalkan gadis itu. Jahatkah ia jika pergi begitu saja tanpa kabar? Egoiskah jika meninggalkan gadis itu sendirian di kota sebesar ini? Kwang Min berniat menulis surat saat terdengar ketukan dari balik pintu kamar. Ketukan lemah itu tak berhasil membuat Kwang Min bersingut dari balik selimutnya. Ia hanya berujar dengan nada lemah, “Masuklah. Tak dikunci.”
Tubuh seorang lelaki gemuk muncul dari balik pintu. Ayah Kwang Min menghela napas sebelum akhirnya mengahampiri Kwang Min dengan sorot sedih. “Berhentilah hidup seperti ini, Ayah mohon.”
Ini kali pertamanya Kwang Min tak mendengar nada tinggi dalam deret kata-katanya. Kali pertamanya ia tak melihat sorot penuh kebencian. Yang Kwang Min temukan adalah ketulusan seorang ayah yang tak pernah ia rasakan sebekumnya. Kwang Min dapat melihat dengan jelas tangan ayahnya yang terulur hendak mengelus kepala Kwang Min dari kaca. Namun lelaki itu mengurungkan niatnya. Gengsi? Mungkin saja.
Air mata Kwang Min menggenang.
“Ayah tak usah peduli padaku, yang penting aku akan pergi ke sana dan belajar dengan baik. Lalu, melanjutkan bisnis Ayah. Sesuai yang Ayah harap dan inginkan, bukan?”
Sang ayah pada akhirnya memutuskan duduk di tepi ranjang. Menghela napas panjang, membuang semua ketamakannya. Berusaha bersikap lembut, untuk pertama kalinya. “Maafkan Ayah yang tak bisa menjadi ayah yang baik untukmu.”
Tubuh Kwang Min melemas. Matanya membulat dan air mata berjatuhan membasahi bantal. Ia tidak salah dengar, ‘kan? Ini bukan salah satu dari jutaan fantasi gilanya, ‘kan?
“Ayah sungguh menyesal, sikap Ayah selama ini begitu kejam padamu. Ayah terlalu keras dan kasar padamu. Ayah … sungguh menyesal. Ayah benar-benar tidak tahu bagaimana memperlakulan orang dengan baik. Kau tahu sifat kakek dan nenekmu, ‘kan? Tolong maafkan Ayah, ya?”
Kwang Min perlahan membenahi posisinya hingga kini duduk menghadap sang Ayah setelah tangan kekar itu mengelus lembut puncak kepalanya. Kwang Min berusaha menerka-nerka tipu muslihat yang sedang dimainkan sang ayah. Namun nihil, lagi-lagi ketulusan yang Kwang Min dapatkan dari sepasang iris coklat itu.
“Ibumu pergi ke luar negeri meninggalkan kita. Ini salah Ayah, maafkan Ayah.” Lelaki itu menundukkan kepalanya. “Tolong jangan tinggalkan Ayah juga. Tolong jangan tinggalkan Ayah seperti kakek, nenek dan ibumu.”
Kwang Min mendekap erat tubuh ayahnya. Menangis sekencang mungkin, mengeluarkan segala beban di hatinya. Rasa senang bertambah saat sepasang tangan ayahnya mengelus punggung Kwang Min. Ini pertama kalinya, pertama kali dalam hidup seorang Jo Kwang Min, sang ayah rela ia peluk sedemikian erat. Jika ini mimpi, Kwang Min hanya berharap bahwa Tuhan tak akan membangunkannya. Selamanya.
“K-Kwang Min juga minta maaf … telah bersikap kasar … pada Ayah.”
Sang ayah tersenyum lantas mengangguk kecil. “Tidak apa-apa.”
Hening setelahnya. Yang terdengar hanya isakan sepasang ayah dan anak yang sama-sama menyesali sikapnya di masa lalu. Kini, keduanya akan membenahi diri. Menghancurkan borgol ketamakan dalam diri masing-masing. Dan memulai hidup baru bersama cahaya cerah yang menerangi carawala.