·• First •·

481 47 4
                                    

Aprilia Vallery

Saya sedang berjalan santai dengan Zio—yang telah berstratus sebagai, ekhem, pacar saya—yang seenaknya saja merangkul saya. Kami menuju ke ruang kelas di lantai 3. Kegiatannya itu membuat semua manusia yang kita lewati, kakak kelas maupun seangkatan, melirik penuh kebencian. Lha, saya 'kan cuma jalan disamping Zio. Masalah?

Oke, cukup. Ini menggelikan. Sejak kapan aku menggunakan saya-kamu?

Sebenarnya aku agak kesal melihat tatapan mereka yang penuh kebencian seperti itu. Seakan mereka akan membunuhku kalau jalan bareng Zio. Seolah mereka mengklaim kalau Zio milik mereka dan tidak ada seorang pun yang boleh berjalan bersamanya. Memangnya siapa mereka? Belum tentu Zio kenal mereka semua. Terlebih lagi, Zio 'kan punyaku.

"Vall, lo risih ya? Sama tatapan mereka?" bisik Zio saat menaiki tangga. Ah, ya, saat hari kelulusan, aku dan Zio memutuskan untuk tetap menggunakan elo-gue. Itu karena aneh dan sedikit lebay bagi kami berdua kalau menggunakan aku-kamu. "Hm? Gak juga. Udah biasa kali, Zi."

Zio terkekeh. "Anggap aja mereka kayak hantu yang sering dilihat Julius. Siapa dah namanya? Lupa gue. Yang cantik itu lho." Aku menatap Zio tajam. Pura-pura cemburu. "Chela." Zio mengangguk-angguk. "Tenang aja. Masih cantikan kamu kok," katanya mengedipkan sebelah matanya. Aku hanya memutar bola mata malas.

Sampai dikelas—kelas 10 IPA 3—kami mengambil tempat duduk paling pojok belakang dekat jendela. Tempat strategis untuk tidur, makan, dan bermain handphone tanpa ketahuan guru. Lalu, hening. Kami tak mengenal siapa 'pun dikelas ini karena kami berdua, em, membolos saat MOS dan hanya masuk saat hari pertama. Hehe.

Tiba-tiba, orang yang duduk didepan kami berbalik. "Hai! Kenalan dong. Nama gue Heri, sebelah gue Evan. Lo pada?"

"Gue Zio."

"Vall."

"Buthet, Her. Mereka pelit amat ngomongnya. Kayak lo kalau gue minta bayarin eth teh."

Aku menyeritkan dahi. "'Th'? Lo cedal 's'?" Evan menatap kami kesal sambil cemberut dan kami pun ngakak. "Bahahaha! Mengkanya, hilangin cedal lo! Masa langsung diketawain cewek cantik! Bahahaha! Gue sukurin lo jomblo selamanya!" Heri mengedip genit kearahku.

"Thadith amat do'a lo Her! Lo mau gue gak laku thelamanya? Gue thukurin lo ditolak doi lo!"

"Oy!! Cedal!! Lo dipanggil Miss. Lucy! Disuruh ke kantor!" sahut seseorang didekat pintu.

"Ck, ntar ya, tugath memanggil. Zi, temenin gue ke kandang thinga ya." Evan pun pergi dengan menggeret Zio yang hanya bisa pasrah. Aku melambaikan tangan kearahnya sambil cekikian.

"Lo Vallery ya?" tanya cewek yang langsung duduk di bangku Evan. Aku mengangguk. "Lo kenal gue?"

"Lo beneran Vall yang itu!?" Cewek yang baru datang langsung menggebrak mejaku. Aku meliriknya sebal. Apa-apaan nih? Datang-datang langsung gebrak meja. "Iya. Gue Vallery. Emang gue kenapa sih? Dan jangan pakai gebrak meja segala dong. Berisik." Cewek itu hanya nyengir lalu membisikkan kata 'sorry'.

"Eh, Her! Lo cabut sana. Gue mau duduk. Omongan cewek, cowok dilarang denger." Heri mencibir lalu pergi ke mejanya Naufal, orang yang menyuruh Evan ke kantor.

"Nah, tumben tuh curut satu nurut sama gue?" gumam cewek-baru-datang lalu duduk ditempat Heri. Lalu, kami berkenalan. Yang duduk dibangku Evan bernama Athalya Salma dan yang menggebrak meja bernama Debora Teressia. Mereka lumayan asyik. Tidak banyak gaya dan santai. Hm, sepertinya kami bisa menjadi teman dekat.

"Eh, gue baru tau kalau lo asyik juga," sahut si Atha. "Gue setuju, Tha. Katanya, lo tuh jaim, sombong, gak punya malu, emosian, dan sebagainya. Karena itu, gue samperin dan kenalan sama lo. Gue pengen liat pakai mata kepala sendiri," lanjut Debora.

TGSs 1 - ThirteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang