·• Twelfth •·

310 31 6
                                    

28 Agustus : Aprilia Vallery

Aku yakin dengan keputusanku. Aku tidak akan menyerahkan rekaman ini. Tanpa benda ini, aku yakin kami tetap bisa menyelesaikan kasus. Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah itu, kupaksakan tubuhku bangkit berdiri menuju kamar mandi, membersihkan diri. Rasa perih pada tanganku semakin bertambah karena tak sengaja menyentuh pinggiran meja. Aneh.

Mataku terbelalak melihat luka sayatan pada sekujur lenganku. What the... Apa yang aku lakukan? Tanpa sadar, aku menelan ludah. Niat awal menuju kamar mandi kubatalkan. Aku berbelok menuju cermin panjang di dekat meja belajar.

Oh, God. Apa-apaan ini? Aku memandangi tubuhku—mulai dari kedua tanganku sampai kedua pahaku—dengan tatapan tak percaya. Luka goresan dan kemerahan memenuhinya. Apa ini... karyaku? Kenapa aku tidak sadar? Ah, aku kambuh. Aku tersenyum miris lalu masuk kedalam kamar mandi. Aku harus keluar kamar.

• · • · • · •

Aku memakai kaos tanpa lengan dan celana longgar panjang setelah membersihkan lukaku. Tiba-tiba, aku mendengar langkah kaki mendekat.

"April masih marah?" Aku mengulum senyum. Zio selalu memanggilku April kalau ia benar-benar menyesal. Aku mengambil handphoneku lalu berjalan menuju pintu. "Maafin Zio ya. Zio bentak April karna Zio khawatir. Kalo April kenapa-napa gimana? Zio gak mau ngeliat April luka-luka lagi. Zio janji deh, gak bentak-bentak April lagi." Aku terkekeh mendengar nada suaranya yang seperti anak kecil. Melas banget. Ucul.

Seketika aku berhenti. Luka-luka. Maaf.

Aku membuka pintu lalu memeluk Zio. Kulupakan sejenak tentang lukaku. "Aprilnya Zio maafin Zio kok. Lagian, April gak marah. April tau kalo April salah. Harusnya April bilang dulu ke Zio. Maafin April ya, udah bikin Zio khawatir," ucapku meniru nada suaranya.

"Harusnya Zio yang minta maaf." Zio membalas pelukanku dan mengecupi puncak kepalaku. Malu, tapi aku senang. Aku menyembunyikan wajahku di dadanya. Aroma mint bercampur green tea menyeruak menuju indra penciumanku. Tipikal Zio. "Maaf udah bikin Vall sakit hati sampe nangis histeris. Tau gak, Zio khawatir banget. Apalagi waktu Vall ngusir Zio sambil teriak. Maaf ya."

Aduh. Aku mengangguk. Zio mengelus-elus puncak kepalaku lalu melepaskan pelukannya. Tangannya menangkup wajahku dan mengecupi dahi, kedua mata, hidup sampai bibirku. HEH! Aku melotot pada Zio. "Cuma sekali," katanya sambil terkekeh. "Ayo makan. Zio bikin nasi goreng lho."

Aku mendengus sebal. Namun, tak urung aku tersenyum. "AYO!"

"Oh, ya, Zio udah dimaafin kan?"

• · • · • · •

29 Agustus : Heri Guntur

Gue merelakskan badan gue yang pegal-pegal karena seharian mendekam didepan komputer. Udah lelah, laper lagi. Sayangnya gue tidak punya orang yang mau memasakkan gue makanan subuh-subuh begini. Gue tidak mau membangunkan kakak perempuan gue hanya untuk memuaskan nafsu perut gue. Jadi, terpaksa gue pergi kedapur memasak mie instan karena mie instan jauh lebih praktis dibanding memasak nasi goreng dan lainnya. Pokoknya, mie instan the best lah!

Gue mengisi panci kecil dengan air secukupnya lalu meletakkannya diatas kompor. Setelah itu, gue menyalakan apinya. Sambil menunggu air mendidih, gue membuka pembungkus bumbu mie dan membubuhkannya pada mangkuk kesukaan gue sejak kecil. Setelah gue selidiki, umur mangkuk ini lebih tua dari pada umur gue. Keren 'kan? Siapa dulu yang punya? Heri!

Setelah mendidih, gue menuangkan sedikit airnya pada bumbu tadi lalu sisanya gue gunakan untuk memasak mie. Sambil menunggu, gue membuka handphone gue dan memeriksa informasi-informasi kepolisian tentang kasus ini. Kasus yang gue dan lainnya campur tangani. Gue tau ini salah karena mengganggu pekerjaan para polisi, tapi, terkadang, pekerjaan polisi jauh lebih lambat dibanding amatiran. Lagian, ikut menyelidiki sepertinya seru.

"Ri?" Gue menolehkan kepala gue kearah tangga menuju lantai dua. Gue tersenyum kearahnya. Kak Hera. Satu-satunya keluarga yang gue punya sekarang. Gue sayang banget ke dia dan sampai kapan 'pun, rasa sayang gue tidak akan berubah. Bukannya gue mengidap sister complex ya! Amit-amit. "Kebangun kak? Sori. Laper gue."

"Gak pa-pa. Kakak kira maling. Lagian, suruh siapa gak mau makan? Sok sibuk!" Gue menyengir lalu mematikan kompor. "Perlu bantuan gak?"

Gue menggeleng. "Tinggal ngaduk mi ngapain dibantuin? Udah, tidur lagi gih!"

"Ya udah. Oh, ya, besok kakak nginep dirumah temen buat ngerjain tugas. Lo dirumah sendiri gak pa-pa? Gak takut kan?"

Gue membawa semangkuk mie gue naik keatas. Gue merangkul kak Hera. "Ya kali, gue takut! Hancur image cool gue."

"Halah, sok-sokan pake image cool segala! Seinget kakak, yang namanya Heri Guntur Mahardika itu takut sama makhluk halus."

Gue berdecak kesal. "Gak usah ungkit-ungkit aib deh kak! Itu 'kan dulu. Sekarang mah, gue udah gak takut," ucap gue membusungkan dada.

"Jiah, itu tuh, itu! Disebelah lo udah ada yang duduk. Cakep. Gak kalah sama gebetan lo! Putih, tinggi, rambutnya pendek trus kayaknya pake soflen merah dah. Coba lo liat."

Wajah gue memucat. "Gak usah bercanda dah kak! Gak lucu!" Kak Hera tertawa terbahak-bahak. Sial. Gue dikibuli. "Ah! Tauk ah! Males gue! Gue masuk kamar lagi ya. Tidur sana!"

"Gak usah lo suruh, kakak juga tidur lagi! Lo juga, abis makan langsung tidur. Jangan begadang terus! Gak baik. Good night." Gue cemberut. Namun tak urung, gue tersenyum juga. Gue membalas ucapannya lalu masuk ke kamar.

Hanya orang bodoh yang menuruti ucapan Kak Hera. Walaupun gue sayang banget ke dia, gue gak mau tidur saat ini karena lagi seru-serunya menyelidiki kasus. Dengan kemampuan gue yang hebat tak tertandingi, gue dengan mudahnya membobol sistem cctv sekolah. Yeah, gue memang sombong dan kesombongan gue beralasan kuat. See? Gue sedang mengcopy rekaman cctv kemarin siang tanpa halangan. Mulai dari rekaman dari cctv yang mengarah ke gudang saat doi mengambil senar sampai rekaman dari cctv koridor depan kelas. Sekali lihat saja, gue tau siapa pelakunya. Dalam jentikan jari, gue bisa memasukkan si pelaku kedalam penjara.

Siapa dulu? Heri!

Mata gue menangkap rekaman penampakan Vall di parkiran sekolah pukul 07.25. Jumat malam. Yang membuat gue terngecang—ekhem, tercengang, Vall keluar kelas pukul 21.20 dengan wajah pucat dan kusut tipikal habis menangis. Pada rekaman selanjutnya, Vall berada ditaman belakang. Dia tampak membakar sesuatu disana. Insting gue bilang, itu ada hubungannya dengan penyebab Vall menangis. Padahal Vall tipe cewek yang benci menangis. Gue tau itu walaupun umur persahabatan kami masih cimit-cimit. Janin aja belum finishin tipestri pertama.

Anggap saja, gue kepo. Tunggu, gue memang kepo.

Sebelum gue menyelidiki lebih lanjut, gue rasa, Zio perlu tau ini. Tapi, berhubung pulsa gue habis, gue kasih tau dia disekolah.

• · • · • · •

Jam enam pagi, gue sudah stanby di taman belakang. Bener dugaan gue. Disebelah gudang, ada sesuatu yang hangus terbakar. Dari penampilannya, gue tau itu sesuatu berbahan dasar kertas. Hayake, apakah itu?

Gue mengamati tumpukan tersebut dan menemukan satu kertas yang hanya terbakar setengahnya. Gue was-was melihat sebagian gambar. Anjir! Vall bakar majalah anu! Jangan-jangan, dia nemuin ini di lokernya Zio. Terus, dia sedih dan bakar semuanya. Ck, mending buat gue aja dari pada dibakar. Buang-buang uang aja!

Gue mengambil kertas itu dan gue keselek ludah gue sendiri. Ini bukan majalan anu atau sebangsanya. Ini... brengsek. Gue bakal bunuh bajingan yang ngelakuin hal ini ke sahabat gue. Dan bajingan itu pasti berhubungan dengan yang meneror Vall. Siapa lagi kalau bukan si pelaku?

Tunggu. Apa... Zio tau?

• • • 

tinggalkan jejak

21.37, Sabtu, 17 September 2016

salam anu,

KQueenMiSSa

TGSs 1 - ThirteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang