·• Nineth •·

264 28 11
                                    

26 Agustus : Aprilia Vallery

Ada dua kemungkinan yang terjadi. Satu, yang ditangan Evan adalah handphone milih Steph sedangkan punya Evan sendiri masih di kelas. Kemungkinan kedua adalah kebalikan kemungkinan pertama. Tapi sepertinya, kemungkinan pertama yang benar. Aku harus memastikannya. Kutekan sekali lagi bel rumah Evan. Tak lama, terdengar suara pintu terbuka.

"Dih, lama banget lo, Van!"

Evan menyengir lebar. "Hehehe, thorry, Vall. Mathuk, mathuk."

"Gak usah, Van. Diluar aja. Lagian cuma bentar doang." Evan mengangguk-angguk paham lalu mengajakku duduk diteras rumah dan menawarkan minuman. Tapi aku menolak. Lalu akhirnya, Evan membuka pembicaraan. "Ada apa lagi Vall? Kan tadi Evan thama lainnya udah kerumah Vall. Kok Vallnya ke thini?"

"Gini Van, hp-nya ada di elo kan?" Evan mengangguk. "Sekarang dimana? Gue pinjeeemmm bentar. Bentar banget."

Evan sedikit terkejut lalu menepuk dahinya. "Duh, lupa. Tadi lowbat belum Evan carge." Evan nyengir lalu memasuki rumahnya. Tak lama, ia kembali lagi sambil membawa power bank. "Nih, Vall. Ada apaan emang? Eh, ya, jangan buka bbm, line thama whatthup (whatsup) ya." Aku mengangguk paham lalu memeriksanya.

Aplikasi yang pertama kali aku buka adalah notes. Biasanya cewek-cewek suka membuat diary di note handphone 'kan? Tidak terkecuali aku. Untungnya, aplikasi itu tidak dipassword. Gotcha. Aku benar. Ini handphone Steph. Terbukti dengan curhatannya tentang kelas yang ramai, pr bejibun, kesadisan guru-guru memerintahnya dengan seenaknya sendiri, dan orang yang ia taksir, Evan. Tidak mungkin, lah, ya, Evan curhat tentang dirinya sendiri.

Tunggu, tunggu. STEPH NAKSIR EVAN!! Berarti, secara tidak langsung, Steph dan Atha saingan. Sebagai sahabat, aku tentu mendukung Atha. Tapi, aku sadar kalau Atha dan Evan kecil kemungkinan untuk bersatu. Ada dinding penghalang diantara mereka dan dinding itu sangat susah dihancurkan.

"Berarti lo belum buka hp dari tadi?" Evan menggeleng. "Bagus kalo gitu. Gue kasih tau nih, ya, ini hp-nya Steph." Aku menunjukkan note-note yang dibuat Steph pada Evan. Kecuali yang tentang Steph naksir Evan tentu saja.

Mata Evan melebar. "Teruth, hp Evan dimana? Ck, Evan lagi maleth dimarain. Eh, hp-nya Thteph (Steph) juga ilang?"

Duh, Evan imut. "Tenang aja, hp lo di rumah gue. Besok gue kerumah lo lagi, ngembaliin hp."

Evan merasa lega sejenak. Ingat, hanya sejenak karena wajahnya mulai serius lagi. "Inget, jangan buka bbm, line, whatthup (whatsup), thama thmth, argh, thutah amat thih, ngomongnya!?"

"Iya, iya, gue tau. Jangan buka bbm, line, whatsup, sama sms kan?" Evan mengangguk lega. "Itu makthud Evan."

Oh, ya, hampir lupa. "Eh, Van, tanya lagi. Lo tadi ngerekam suasana kelas 'kan?" Evan mengangguk dan melayangkan tatapan bertanya. "Lo taruh hp lo dimana?"

"Di atath loker. Evan tutupi buku-buku. Kenapa emangnya?" Diatas loker. Tunggu, jangan bilang handphonenya masih disana!? Ih, kampret. Aku harus cepat mengambilnya sebelum si pelaku. Argh, semoga pelakunya belum menyadari keberadaan handphonenya si Evan. Amin, ya Tuhan.

"Nggak. Nggak pa-pa, Van. Thanks ya! Gue pulang dulu. Terus, hp ini gue yang bawa!" Aku buru-buru memakai sepatuku lalu memasuki mobil. Melihatku, Evan geleng-geleng kepala.

"Hati-hati, Vall! Kalo nemu thethuatu terbaru, langthung kathih tau Evan ya!" Aku mengangguk paham dan tersenyum singkat. Lalu, aku melajukan mobilku menuju sekolah. Aku harus cepat.

• · • · • · •

Aku memasuki kelas dengan terburu-buru. Keringat mulai membasahi tubuhku dan nafasku tersenggal-senggal. Bayangkan deh, aku menuju lantai 3 dengan berlari dan menaiki 2 anak tangga sekaligus. Lelah. Capek. Bikin laper.

TGSs 1 - ThirteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang