·• Third •·

312 36 6
                                    

15 Agustus

Kelasku—10 IPA 3—sedang berduka. Seakan mengerti apa yang kami rasakan, langit menumpahkan tangisnya. Bulir-bulir hujan mengguyur kota ini deras. Meninggalnya Bu Enne diumumkan hari ini. Mereka bilang, karena serangan jantung. Aku tahu hal itu dilakukan untuk mengurangi rasa kekhawatiran.

Atha dan Deka sudah kembali bersekolah. Kami, satu per satu mengucapkan kalimat 'turut berduka cita'. Untuk pengganti wali kelas kami masih dirapatkan dan akan diumumkan dihari mendatang.

Saat istirahat datang, kami bertujuh berkumpul di lab bahasa—markas kami. Alasannya satu, komputer, wi-fi, dan ac tersedia. Ditambah, jarang banget dipakai dan kedap suara. "Tha, gue tau lo punya sesuatu yang harus diceritakan ke kami. Soal... almarhum Bu Enne." Aku membuka pembicaraan.

"Sorry, guys. Gue mau cerita, tapi... gak bisa." Suasana kembali hening.

"Kenapa?" tanya Heri. "Lo gak percaya kami?"

"Bukan gitu. Gue cuma... takut."

Aku menepuk bahu Atha. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi, Tha, lo tau sendiri kalo kita gak mungkin bocor."

Zio menimpali. "Kalo soal polisi kembar itu, lo gak usah takut. Mereka jinak kok."

Semuanya memandang kami heran. "Wah, wah, kalian bertiga melanggar aturan. Kalian nyembunyiin thethuatu. Pelanggaran theriuth ini," sahut Evan dengan cedal 's'nya. Kami sontak tertawa.

"Kalian tau? Dari mana?" tanya Atha setelah selesai tertawa. Aku tersenyum. "Yah, kan rumah kita deket TKP," jawabku.

"Ditambah si kembar itu kenalan kami," tambah Zio. Aku mengangguk-angguk.

"Fix, kalian jahat. Tha, gue ngambek sama lo pokoknya. Lo gak kasih tau gue apa-apa. Pokoknya, lo harus ceritain semuanya!" Debora memasang raut wajah kesal dan tangan bersendekap.

"Karena kalian udah nglanggar kesepakatan dan perjanjian kita, kalian harus nraktir seminggu full!" ucap Naufal dengan seringai lebarnya. Kami bertiga—aku, Zio dan Atha—memasang wajah masam. "Habis uang gue minggu ini," celetuk Zio.

"Oke, deh, gue cerita. Tapi, kalian gak boleh bocor. Kalian bisa dipercaya kan?"

"Aelah, Tha! Lo gak percaya sama kami? Lo kayak baru kenal kita 1 bulan aja!" celetuk Heri.

"Emang baru thatu bulan, goblokth!" sahut Evan menjitak Heri. "Tolong, tolong, itu bahasanya tolong dikondisikan!" Debora melotot kearah Evan. Evan hanya nyengir.

"Ayo cerita, Tha. Kita gak bakal bocor. Lo tenang aja," ucap Naufal. Atha mengangguk lalu mulai menceritakan. Dugaanku benar, ini kasus pembunuhan. Sementara, Deka tinggal bersama kakaknya di blog J. Masih kompleks perumahan yang sama. Jadi, rumah itu—TKP—kosong dan hanya ada polisi berkeliaran.

"Oh, Ya Tuhan, ini rahasia besar! Terus, lanjutannya gimana?" tanya Debora. Atha menggeleng. "Masih belum ada perkembangan."

Selanjutnya, untuk mencairkan suasana, kami memilih bertukar lelucon dan tertawa. Itung-itung, menghibur Atha.

• · • · • · •

Bel istirahat berbunyi. Kami kembali ke kelas. Yang pertama sampai, menang. Walaupun permainan anak kecil, ini asyik. Aku yang pertama kali masuk dan melihat kelas masih tak berpenghuni karena semua masih bermain, gossip, atau apapun itu dengan anak dari kelas lain. Tipikal kelas 10 IPA 3. Bisa dibilang, kami sekelas masih belum terlalu akrab dan kompak.

Ah, tidak. Ada beberapa orang. Steph yang mengobrol dengan Irine juga Deka yang tiduran di meja. Aku memaksakan senyumku dan menyapanya. "Deka! Kok lo sendirian di kelas? Gak maen sama temen lo yang biasanya? Anak kelas sebelah kan?"

TGSs 1 - ThirteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang