Chapter 4

66 2 1
                                    

Flashback still on...

Kirana's POV

Ramainya kota Bandung memang tak pernah asing ditelingaku, sekarang umurku sudah menginjak usia 23 tahun. Aku telah kembali ke pelukan ayah dan bundaku. Sangat senang mendengar orang-orang berbicara bahasa daerah suku sunda ini, telingaku memang merindukan suasana kota Bandung yang kucinta ini.

Ah iya, aku sekarang menjadi psikolog yang membuka praktek yang tak jauh dari rumahku. Setelah kepulanganku dari Belanda, ayah dan bunda telah menyiapkan segalanya.

Walaupun mereka telah berpisah, namun aku bangga karena mereka tetap menjadi orangtuaku yang sangat amat kompak. Sebenarnya, aku sangat menyayangkan perpisahan mereka. Alasan mereka berpisah pun tak pernah ku ketahui, begitu pula Karina.

Oh iya, setelah menyelesaikan studinya di Paris jurusan fashion, Karina menjadi fashion designer di Jakarta sekarang. Aku sangat senang dengan bakatnya, juga dengan tekadnya yang tak pernah main-main. Kurasa, Karina sedang menikmati hidupnya sekarang.

Juga, Dava. Semenjak kejadian ulangtahunnya waktu itu, hubungan kita makin canggung. Entahlah, sepertinya terasa salah walaupun benar. Dan juga terasa benar walaupun salah.

Jujur, aku menyesalinya jika tahu akan berujung seperti ini. Seperti ada jarak bagi kami berdua. Terlebih, Dava yang sekarang menjadi dokter di Rumah Sakit ternama di Jakarta membuat kami jarang bertemu.

Pertama kalinya di hidup kami, aku dan Dava berpisah. Hm, tak melihat dirinya disekitarku sangatlah aneh. Namun apalah daya, aku harus membiasakannya. Karena cepat atau lambat, kita akan menemukan jalan hidup kita masing-masing. Tapi, semakin memikirkannya aku semakin merasa sedih.

Going back to the corner when i'm first saw you..

Suara nada dering ponselku berbunyi, tertulis nama seseorang yang telah lama tak memunculkan batang hidupnya di hidupku belakangan ini.

"Hallo, Ran? Apa kabar?"
"Hai, Rai. Baik, kamu gimana? Udah lama banget ya, aku kangen."
"Nggak baik, karena nggak pernah lihat kamu. Hehehe.. Ketemuan yuk? Aku di Bandung."
"Oke. Ketemuan di tempat biasa ya!"

Klik.

Aku menutup sambungan telepon, kemudian bergegas pergi untuk bertemu Raihan.

******

"Rai?"
"Hei, Ran. Nice to see you! akhirnya aku ketemu kamu juga."
"Kamu beda banget, Rai. Makin ganteng."
"Kalau kamu sih udah nggak usah aku jelasin, laki-laki lain pasti sudah sering bilang kamu cantik."
"Bisa aja."
"Dava dimana? Aku kira kamu kesini dengan Dava."
"Dava di Jakarta, Rai. Sibuk jadi Pak Dokter."
"Jadi, kalian pisah ceritanya?"
"Iya. Nggak mungkin kan sama-sama terus, waktu kuliah bareng aja itu sudah benar-benar keberuntungan bisa sama Dava."

Kulirik Raihan yang terdiam sejenak. Lalu setelahnya, ia menatapku dalam-dalam. Entah, ekspresinya tak bisa kutebak.

"Sebenarnya, itu pilihan."
"Maksudnya?"
"Uhm.. Kamu nggak mau pesan apa gitu? Aku lapar nih."
"Ohahaha iya. Kita keasikan ngobrol sih!"

Kami memesan beberapa makanan dan minuman. Dengan santai kami melahapnya diselingi dengan percakapan kami yang membahas masa laluku, Raihan dan Dava.

"Kalau diingat-ingat, dulu aku pengecut sekali."
"Alasannya?" aku menaikkan sebelah alisku, mulai penasaran dengan pernyataan Raihan.
"Nggak berani nembak cewek yang aku suka."
"Uhm.. Kamu suka sama cewek waktu SMA? Kok kamu nggak pernah cerita? Siapa dia?"
"Kamu."

*********

Dava's POV

Sekali lagi, aku melarikan diri dari perasaanku padanya. Payah sekali bukan? Padahal waktu itu aku nekat menciumnya. Namun kurasa, ini terasa salah. Aku merasa bersalah. Hubunganku dan Kirana semakin hari semakin terasa canggung. Karena itulah, aku memilih Rumah Sakit di Jakarta bukan Bandung.

Sekarang, aku menyesali pilihanku. Mengapa aku tak memberanikan diri menyatakan perasaanku pada Kirana? Mengapa aku malah melarikan diri? Bukankah seharusnya aku memperjuangkan rasa cintaku pada Kirana?

Tapi, ketika aku memikirkan lagi dan lagi... Aku hanya takut kehilangan seorang Aluna Kirana. Aku takut akan seperti ini pada akhirnya.

Kring.. Kringg..

"Halo? Dengan dokter Rizky Davian." ucapku lewat pesawat telepon.
"Hai Pak Dokter! Ketemuan yuk, kalau kamu lupa aku siapa. Aku.."
"Karin. Ya ya, dengan celotehmu itu mana mungkin aku tak tahu itu kau?"
"Kita makan siang bareng ya! Aku akan kirim pesan pada ponselmu. Tolong diaktifkan, Yang Mulia."
"Berhentilah menggodaku, Karin. Oke aku akan bersiap-siap."

*******

"Coba aja kamu datang waktu aku sedang menggelar fashion show waktu itu. Kamu benar-benar jahat, Dav."
"Maafkan aku. Salah sendiri memberitaku secara dadakan. Aku punya jadwal operasi diwaktu itu."
"Pak dokter dengan pisau bedahnya. Baiklah, aku takkan mengganggumu."
"Kenapa malah ngambek? Aku nggak ngerti."
"Uhm.. Dava. Jadi pacarku, ya?"
"Kau mau aku jadi pa.. Pacarmu?"
"Iya. Kita coba hubungan ini yah, kau mau kan?"

Aku terngaga didepan wanita gila ini. Apa aku tidak salah dengar? Dia mau aku jadi pacarnya? Ah benar-benar tidak waras!

"Aku tahu kita tidak saling mencintai, tapi setidaknya kita saling percaya bukan?"
"Entahlah, sepertinya aku tidak punya waktu untuk mengurusi suatu hubungan."
"Jadi, aku ditolak ya?"

Wajah Karina langsung berubah menjadi sendu. Oh tidak, jangan seperti itu. Aku tak pernah sanggup melihat wanita bersedih, apalagi sampai menangis. Aku tak bisa..

"Uhm.. Bukan begitu, Rin. Maksudku.."
"Bahkan kamu juga nolak aku. Aku seburuk itu ya?"
"Kamu mengerti apa maksudku."
"Kamu juga mengerti apa yang aku inginkan, hanya mencoba. Aku tidak berharap apapun padamu, tapi beri aku kesempatan ya?"
"Baiklah."

Aku lelah dengan permintaannya yang gila ini, selera makanku langsung hilang entah kemana. Namun ketika aku mengamati wajah Karina, ia masih tidak terlihat senang.

"Apalagi? Kamu mau aku cium?"

Karina melirikku, seperti sedikit kaget. Namun dengan cepat ia menyeringai.

"Kalau kamu mau."

**********

Kirana's POV

"A.. Aku?"
"Maukah kamu jadi pacarku, Ran?"

Maukah aku menjadi pacarmu, Rai?

Aku rasa, aku terdiam cukup lama. Memikirkan lagi dan lagi. Tapi semakin lama semakin aku merasa sakit di kepalaku. A..aku harus bagaimana?

"Nggak usah jawab sekarang juga nggak apa-apa, kamu pikirkan dulu saja."
"A..aku.. Aku nggak mau pacaran. Aku mau langsung nikah."

Aku berbicara seperti itu dengan maksud agar Raihan menyerah. Namun sepertinya aku salah ucap, benar-benar salah.

"Baiklah, aku akan melamarmu secepatnya. Kamu harus pikirkan jawabannya. Tapi sebelum itu terjadi, bisakah kita bertemu lebih sering? Seperti nonton, makan siang, dsb?"
"Maksudmu berkencan?"
"Kau boleh bilang seperti itu."
"Uhmm.. Ba.. Baiklah."

*******

Waktu berjalan dengan cepat, sudah 3 bulan sejak aku memutuskan untuk mencoba membuka hati dengan Raihan. Aku dan Raihan semakin dekat. Bahkan Bunda bilang, ia sangat setuju hubunganku dengan Raihan. Ia memang mudah membuat orang disekitarnya jatuh hati padanya. Lucunya, bahkan hubungan kami belum dimulai sama sekali.

Mungkin kalian menanggap aku mudah jatuh cinta. Tapi ketahuilah, sejujurnya sangat sulit untuk menerima seseorang di hatimu yang sedang kacau balau. Entah hanya pelampiasan atau bukan, seperti biasa aku merasa nyaman pada Raihan. Aku seperti percaya bahwa ia pantas menjadi tempatku bersandar. Mungkinkah itu cinta?

Ah Dava, apakah ini cinta? Aku ingin bertanya padamu. Cinta itu seperti yang bagaimana?

Yang aku rasakan ketika denganmu, ataukah yang aku rasakan dengan Raihan?

Dava, jawab aku! Ku mohon.

*******

Vote&comment!

Love xx

Marry Me, My Best Friend!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang