[Part 4] Bad day

250 22 9
                                    

Ternyata benar dia, aku yakin kali ini aku tidak salah kira. Aku memutuskan untuk pulang karena matahari semakin gelap dan merogoh saku celanaku mencari kunci mobil.

"Arght! Dimana kuncinya?" sudah berulang kali kuperiksa saku celana bahkan tasku tapi tidak ada ciri-ciri keberadannya. Apa mungkin tertinggal di ruang bilas? Dengan malas aku menaiki tangga menuju lantai 10. Sesampainya disana aku langsung mengambil kunci di pinggir kolam, mungkin terjatuh saat aku mengambil tas tadi.

Pintu atap terbuka, apa ada seseorang disana? Ini kan udah sore banget, masa sih?

Aku langsung menuju atap dan melihat seorang perempuan menaiki tembok. Dia cari mati?!

"Semoga bisa naik!" Njir, inikan?!

"Lo mau ngapain?!" Aku langsung menarik lengannya.

"Apasih?! Bikin kaget aja! Liat tuh, gara-gara kamu komiknya jatoh!"

Ko nyalahin ?

"Lo bisa jatuh kalau kayak tadi, apalagi badan lu pendek. Lo jatuh nggak akan ada yang sadar soalnya sekolah dah mulai sepi kecuali yang eskul." Sahutku dengan kesal.

"Bentar lepas dulu, kamu.. Em.. Siapa namanya?"

Dia melihat seragamku?

"Bangke, nametagnya ketutup sama gesper tasnya." Bodohnya dia, dasar.

"Ah terserahlah, mau pulang aja." Dia mendengus kesal dan langsung berjalan melewatiku. Bahkan komiknya tidak dia bawa, apa kubawa saja?

***

"Tan, dulu waktu masih di Bandung yang sering dateng ke rumah namanya Dian, kan?"

Dinda menoleh sekilas namun matanya kembali tertuju pada televisi di hadapannya.

"Kenapa tiba-tiba nanya?"

"Tadi ketemu di sekolah."

Muka Dinda seketika pucat dan langsung mencari ponselnya. Azka tidak terlalu memperhatikan Dinda dan melanjutkan kegiatannya itu yakni mengeringkan rambut.

Dinda mengetuk pintu kamar Azka yang terkunci.

"Azka? Lagi di dalem?" tanyanya.

Beberapa detik kemudian, Azka membuka pintunya dengan perlahan. "Kenapa?"

Bukan karena hubungan mereka tidak akur, tapi Dinda dan Azka memang tidak terlalu memperlihatkan kedekatannya layaknya orang kebanyakan.

Azka memang sewaktu kecil menciptakan jarak dengan tantenya sehingga kedekatan mereka tidak terlalu intens. Namun Azka masih peduli dengan tantenya dengan caranya sendiri, begitu menghormati dan menghargai apapun keputusan tantenya itu.

"Beneran tadi kamu liat? Kamu ngga salah liat, kan?" tanya Dinda untuk memastikan keponakannya itu tidak mengucapkan omong kosong. "Kamu kan belum pernah ketemu?"

Deg!

Azka sedikit grogi dan agak pucat. Dia melupakan kemampuannya itu dan sedang sibuk mencari alasan di otaknya yang cerdas. Lalu terbesit ide konyol dikepalanya dengan harapan tantenya akan percaya.

"Azka cuman... Nebak?" dia terkekeh pelan, "mukanya ngga terlalu berubah dan sebenarnya waktu kecil pernah papasan bentar."

Jangankan bertemu, bahkan saling bertatapan pun belum pernah, hanya dia yang sibuk memperhatikan Dian saat masih kecil.

Dinda hanya ber-oh, kemudian meninggalkan kamar--pintu kamar--ponakannya itu.

Azka terus merenung di kamarnya memandangi komik yang dia pungut di atap sore tadi. Sekilas dia membuka dan hanya membaca sinopsisnya.

I HEAR YOUR HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang