Namaku Dian Jujun Pratiwi, biasa dipanggil Dian kalau sama keluarga, tapi dipanggil Tiwi sama temen sekolah. Umurku baru menginjak 17 tahun. Kata Mama, dulu aku pernah mengalami kecelakaan saat masih dibawah umur dan itu juga menjadi alasan yang sama dengan pindahnya aku ke Jakarta.
Karena absen yang terlalu banyak. Waktu itu pilihanku cuma dua, nggak naik kelas atau naik kelas tapi pindah sekolah. Karena alasan itu Mama memutuskan pindah ke Jakarta. Enak nggak enak sih di Jakarta, emang disini lebih modern tapi kadang aku masih rindu dengan suasana hangat di Bandung. Ya, namanya juga kampung sendiri.
Aku belum pernah memanggil seorang lelaki dengan sebutan Papa, Mama nggak pernah cerita tentang dia. Jangankan masa lalu, namanya aja nggak dia sebut. Dia cuma bilang, "Mama bakal selalu ada buat kamu, Dian."
Seneng sih, Mama kayak gitu tapi kadang iri sama temen sekolah yang suka dianter jemput sama Papanya. Ambil raport sama Papa, ada panggilan Papanya yang dateng, waktu sakit juga Papanya yang jemput.
Sempat penasaran sama Papa tapi Mama kurang suka kalau aku bahas Papa, makanya aku memilih diam daripada membuat Mama marah. Mama sedikit keras, tapi kadang juga lembut. Moodnya kadang berubah, mungkin karena dia singleparent. Tanggung jawab seorang ibu dan ayah dirangkap dalam tubuhnya, pasti itu berat.
Makanya belakangan ini walaupun Mama bilang semua yang aku mau pasti dia turutin, aku terus saja memperhitungkan pengeluaran yang sudah aku lakukan dan meminimalisir keborosan keuangan keluarga. Mulai dari sekolah yang sederhana, pakaian seadanya, dan hanya membeli buku yang benar-benar aku sukai.
"Dian, cepet turun ke bawah! Ada tamu tuh ketuk pintu, buru kesini!" teriak Mama yang terdengar dari lantai bawah bersamaan dengan suara wajan.
Aku pun dengan malasnya menjawab sahutan Mama. "Iya, Ma! Keheula!"
Segeralah aku merapikan baju kausku yang berwarna putih bertuliskan 'Go a head' dan celana jeans pendek selutut. Kemudian, aku memandang cermin dan merapikan rambutku yang berwarna merah gelap panjang . Aku selalu mengikat rambutku dan membiarkan poninya tak beraturan.
"Oke sip!" ucap hatiku sambil mengepalkan tangan dan merapatkan bibir.
"Dian! Kamu lagi apa, sih? Cepet buka pintunya! Mama lagi di dapur!".
Pantes aja nyuruh ke bawah, ternyata suruh bukain pintu.
"Iya iya, Ma!"
Aku memang malas untuk turun, karena pada jam segini biasanya membaca novel kesukaanku yaitu novel atau komik yang berbau mistis, seram dan horor.
Dengan perlahan aku melangkahkan kakiku menuju ruang tamu. Kupegang kenop pintu dan dengan perlahan membukanya.
"Tante Dinda?" ucapku bersemangat. Tentu saja aku senang dengan kehadirannya, Tante Dinda ini adalah teman Mamaku yang paling dekat denganku. Karena dulu sewaktu Mama sedang bekerja dan sering pulang malam, aku selalu dititipkan pada Tante Dinda. Beliau adalah orang yang baik, dia selalu membelikanku mainan dan beberapa pakaian. Aku selalu diajak bermain olehnya. Entah kenapa aku merasa nyaman dengannya. Dia sudah seperti ibuku yang kedua. Ya walaupun tetap saja Mama yang terbaik.
"Dian, kan? Ih, kamu udah gede, tinggi, cantik lagi. Persis kayak Mama kamu!" ucapnya sambil mencubit pelan pipiku. Aku pun tersipu malu mendengar ucapan Tante Dinda.
"Ah, tante bisa aja!" ucapku sambil tersenyum.
"Mamanya ada?"
"Oh, iya jadi lupa. Gara-gara tante muji aku, aku jadi kelupaan nyuruh tante masuk. Hehe... Ayo tante masuk! Mama ada, kok. Bentar aku panggilin,"
Aku mempersilakan Tante Dinda untuk masuk dan duduk di kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I HEAR YOUR HEART
Novela JuvenilAku nggak pacaran karena terlalu sibuk mengingat masa lalu, rasanya aku selalu saja merasakan ganjalan saat mencoba meneruskan hidupku ini. -Dian Jujun Pratiwi- Aku nggak pacaran karena terlalu sibuk mendengar s...