"Cukup basa-basinya, Lina. Kamu pasti tau tujuan aku kesini bukan buat berjamu aja." Dinda meletakkan ponselnya di meja, "pria ini mulai berkeliaran di sekitar rumahku, dan kamu sekarang malah milih tinggal di Jakarta ketimbang di Bandung? Lin, aku tau kamu lagi sembunyi, tapi ngga gini caranya, Lin."
Lina mulai angkat bicara, "Ada surat kaleng, memecahkan jendela rumah, saat itu Dian sedang di rumah sakit menjalani pengobatannya, surat itu berisi tentang Dian, mereka mengetahuinya sekarang! Apalagi yang harus kuperbuat, Din?" Lina menitikkan air matanya.
Dinda mendapatkan telepon, dan setelah menutup teleponnya, dia langsung bergegas.
Lina menahan lengan Dinda, "Din, kamu ngga masih sama mereka, kan? Bukankah mereka membunuh keluargamu?"
"Semuanya sudah terlambat, Lin. Mereka bahkan ingin membunuh Azka karena dia menjadi saksi kematian orangtuanya, walaupun umurnya masih 4 taun. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri, apa aku tega melihatnya terbunuh?" Lina masih memperhatikan Dinda.
"Jadi... Apa yang kamu pertaruhkan sekarang? Mereka tidak akan melepaskan Azka begitu saja. Kamu tahu itu."
"Kubilang, aku akan menyerahkan Azka." lirih Dinda. Lina sedikit tetkejut mendengarnya. "Kamu tidak salah?!"
"Tidak ada pilihan lain, mereka sudah tidak mempercayaiku, Lin. Karena aku memalsukan kematian suamimu, cepat atau lambat mereka akan tahu. Sudahlah Lin, anak-anak menunggu di luar, tujuan kita sama, kan? Aku mohon kerjasamanya, ya?"
****
Pintu kamar Dian terbuka, Lina membawakan obat untuk Dian,
"Ma, obat Dian masih ada,"
"Dian-", Lina duduk disamping kasur, "--kamu keberatan ngga kalau Azka tinggal sama kita?"
"Kenapa, Ma?"
"Tante Dinda ada urusan, dia bilang dia ngga tau kapan urusannya selesai, jadi dia nitipin Azka sama kita. Kamu ngga apa-apa, kan?"
Setelah Lina membujuknya, akhirnya Dian mengiyakan, "Ma, apa Dokter Ryan bisa kesini? Dian ngerasa penyakit Dian sering kambuh belakangan ini."
"Dia bilang seminggu lagi ada di Jakarta, dia dipindahtugaskan, nanti Mama kasihtau dia, ya?"
"Ok."
****
"Kamu kenapa kesini, Azka? Puas liat aku jadi dikurung sama Mama?" Dian memainkan ponselnya.
Azka menyimpan tas dan mendekati Dian, "Mama lo nitipin lo sama gue, jadi mau ngga mau gue harus bilang,"
Dian hanya ber-oh dan memainkan ponselnya lagi.
"Dian," panggil Azka.
"Kenapa?"
"Tadi Kak Rey ke kelas, nyari lo." Dian menoleh, "Nyari? Buat?"
"Gue tadi yang samperin dia, gue bilang lo lagi sakit, terus dia titip pesen, kalau lo udah sembuh, sempetin dateng ke pertandingan dia." Azka mengeluarkan kertas dari tasnya, "ini tiketnya yang dia titip ke Bianca."
Dian memperhatikan tiket itu, Dian menyimpannya di dalam baterai ponselnya supaya tidak hilang, lalu dia meminta Azka mengantarnya ke pertandingan besok, karena dia OSIS pasti dia hadir di acara itu. Awalnya Azka menolak, tapi Dian terus memaksa dan akhirnya Azka menyetujuinya.
"Kok kamu jadi baik gini sih? Bukannya waktu awal-awal kamu kayak agak jutek gitu?"
Azka hanya menatap Dian, terus menatap, Azka ingin mendengar suara hati Dian, tapi sayangnya Dian memang sedang tidak memikirkan apapun. Dian yang sadar sedang ditatap, mulai merasa tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
I HEAR YOUR HEART
Teen FictionAku nggak pacaran karena terlalu sibuk mengingat masa lalu, rasanya aku selalu saja merasakan ganjalan saat mencoba meneruskan hidupku ini. -Dian Jujun Pratiwi- Aku nggak pacaran karena terlalu sibuk mendengar s...