Bayangan Ke-2

20.3K 177 24
                                    

Menikah itu sebuah loncatan besar dalam hidup. Tadinya semua serba sendiri, nanti ada suami. Tapi pertanyaannya, apakah aku bisa meloncat bersamanya? Entahlah. Maksudku dia baik, sungguh.

Sekarang aku tersenyum, mengingat lamarannya minggu kemarin di depan para staf saat aku berkunjung. Dia berlutut, tidak peduli sedang berada di lobi perusahaannya sendiri yang bergerak dibidang web design. Romantis. Senyumanku menguap ketika teringat sisi lain dari dirinya yang suka memerintah seenaknya, posesif dan overprotektif, sekarang aku mengerucutkan bibir.

Ugh, saat ini aku terlihat seperti orang gila yang sebentar senyum lalu sebentar kemudian manyun, terlebih di pinggir Jembatan Barok yang sekarang sedang padat pengunjung. Sementara mataku tidak pernah lepas dari logam emas putih yang melingkar apik di jari manis tangan kiriku.

Rambut cokelat sebahuku ikut menari bersama angin sore dan kepakan sayap burung di langit yang kini beranjak jingga, memaparkan agar aku melangkah, tapi aku melawan. Oh, biarlah aku disini barang sebentar. Bernostalgia bersama masa silam sebelum benteng berbentuk pentagonal di sekeliling Kota Lama dirubuhkan, berandai-andai menjadi noni belanda semasa nenek moyangku masih ada.

Ya, nenek moyangku memang berasal dari Belanda. Kata nenek, ibunya menikah dengan salah seorang pegawai NV BOUWMAATSCHAPIJ, yang sekarang lebih dikenal dengan PT. PELNI. Itulah yang melatarbelakangi kulit putih dan rambut cokelat kemerahan yang kumiliki dan jangan lupa kegemaranku menari tarian klasik, penikmat setia musik klasik, dan penggemar semua hal berbau klasik. Satu hal yang paling aku sesali adalah tidak bisa berbicara bahasa Belanda sama sekali, payah.

Suara David Archuleta yang melantunkan lagu Love Don't Hate, membuyarkan monolog didalam diriku sendiri. Ironis. Seperti hatiku yang dilanda gelora pesona bermata ganda, seperti dia yang manis dan juga dingin menyerupai buah naga.

Aku memutar mata ketika melihat layar handphone. Reksa Adiharja. Kutatap layarnya lekat-lekat, berharap suaranya berhenti karena tatapanku yang mematikan. Tapi tidak. Malah sekarang aku yang ditatap oleh para penikmat panorama lembayung di sekitar jembatan bersejarah ini. Oke, aku menyerah.

"Halo, selamat sore." Suaraku mendadak manis setelah menelan ludah.

"Kamu dimana?" Oh tidak! Dibalik suaranya yang dingin aku tahu dia marah. Bahkan dia tidak membalas salamku. Kacau. Tanpa sadar aku menelan ludah, lagi.

"Reksa kumohon, aku butuh waktu sendiri."

"Kamu seharusnya memberitahuku dulu, sekarang kamu dimana?"

"Aku cuma jalan-jalan, di Little Netherland -- sendiri," lanjutku buru-buru karena tahu pertanyaan selanjutnya.

"Oh, kufikir ... yasudah, sebentar lagi aku kesana."

'Tapi pak pertemuan terakhir dari Trinity sepuluh menit lagi," suara Diana terdengar persis berada dibelakang suaranya. Tenang Ara, itu hanya asistennya. Jangan mendengus kesal.

"Aku akan baik-baik saja, lagi pula aku sekalian mau bertemu Event Organizer di Gedung Marabunta yang akan menjadi tempat resepsi pernikahan kita, dan kau tahulah,"

"Ya, ya, hobi kamu dan kaki kecilmu itu."

Aku menyeringai, karena berhasil menjungkir balikan emosinya. Yes! Aku merasa bahagia karena tawa kecilnya, dan tawa itu hanya untukku. Milikku.

"Aku akan sesegera mungkin ada di sana, jangan nakal." Nada peringatannya bergulung menggoda. Memang kadang membuat gusar tapi kini terdengar lebih manis dari biasanya. Sekarang aku mengerti, hidupku tidak akan pernah datar lagi.

Dia menutup sambungan, kini aku tenggelam kembali dalam pesona Kota Lama Semarang dibalut senja merona. Kurasa aku tidak akan pernah puas menatapnya, tapi aku harus pergi bertemu EO. Jadi aku beranjak dari keindahan ini lalu melangkah ke jalan utama yang dulunya bernama Heeren Straat, namun sekarang dirubah menjadi Jalan Letnan Jendral Soeprapto. Tidak terlalu sulit menemukan kendaraan, banyak abang becak yang nongkrong menunggu penumpang.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang