Bukan Miracle tapi... Mbah Google

3.3K 72 8
                                    

Gemerincing pintu akan membawa keajaibanmu.

Selva mengernyitkan dahi saat selesai membaca sebuah tulisan yang ada di pintu sebuah café. Tulisan Miracle Café terpampang dengan huruf besar di atas pintu. Konyol, fikirnya. Bagaimana mungkin bunyi lonceng bisa menjadi keajaiban. Marketing jaman sekarang semakin pandai menarik pelanggan.

Sebenarnya dia tidak terlalu percaya, sedetik kemudian dia akan berbalik arah tapi gerombolan anak manja yang takut hujan berhasil mendorongnya masuk ke dalam.

Cringg. Sesaat setelah pintu terbuka, suara gemericing memenuhi gendang telinganya.

Jika difikir tidak rugi juga menunggu hujan reda disini. Tempatnya nyaman, arsitekturnya bergaya klasik dengan meja dan kursi kayu yang memanjang. Sedikitnya ada lima belas meja yang memenuhi seluruh ruangan. Semuanya telah terisi, kecuali meja belakang yang dekat dengan jendela. Perfect, gumamnya pada diri sendiri.

Seorang pramusaji mengantarkan pesanannya, secangkir capucinno dan setoples fortune cookie. Tunggu, dia tidak merasa memesan kue keberuntungan.

Gadis dengan pin nama Lily di atas saku kirinya tersenyum.
"Ini gratis, silahkan ambil satu."

Selva membalas senyuman Lily, tanpa berfikir untuk mengambil salah satu kue itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan kebaikan gadis berambut sebahu dengan celemek coklat yang memamerkan mata bersinarnya.

"Semoga beruntung," Lily berlalu setelah memberikan senyum terbaiknya.

'Believe'

Itulah kata yang tertulis di sebuah kertas kecil yang tadinya ada didalam kue, sekarang kertas itu berpindah ke tangan Selva. Iseng dia memotret kertas itu lalu mengunggah ke akun G+ miliknya. Selva mengenggam kertas itu erat. Berharap, lelaki itu ada disini.

Lima tahun bukanlah rentang waktu yang pendek. Roda kehidupan terus berputar menuntut perjalanan, meski tak ingin. Waktu tidak mungkin berhenti, tidak bisa terhapus. Pada akhirnya hanya bisa menyerah kemanapun roda membawamu pergi. Dan rasa itu masih ada, bahkan hingga saat ini.

Salah satu kekuatan hujan ialah membawa sebuah kenangan, bahkan kenangan terdalam yang sedang Selva coba lupakan.

~~~

"Kamu harus melupakannya," ucap Rizda sungguh-sunguh.

"Ya, memang itulah rencana yang sedang aku fikirkan. Kalau kamu punya sesuatu yang bisa membuatku melupakannya, berikan padaku," ucap Selva dengan nada marah, wajar dia merasa cemburu karena dia baru saja melihat Rima anak IPS 3 sedang gencar mengejar Kak Rizal.

"Wow sabar, memangnya aku ini Profesor Snape yang bisa membuat ramuan untuk menyembuhkan orang patah hati," Rizda cekikikan sendiri.

"Jadi?" Tanya Selva tidak sabar "Aku bisa gila kalo gini terus Da" lanjutnya tanpa menghentikan langkah menuju taman sekolah.

"Kamu benar-benar jatuh cinta ya."

Selva mengangguk pasrah, dia suka matanya yang berwarna coklat, suaranya yang berat, bahkan dia suka aroma tubuhnya saat selesai bermain basket. Karena kakak kelasnya itu lah dia membabat semua ekskul di sekolah. OSIS, PMR, Paskibra, Pramuka, bahkan Teater hanya untuk bisa dekat dengannya.

"Terus kenapa kamu mau melupakannya?" Tanya Rizda dengan mata penuh rasa ingin tahu.

"Kamu kan tau sendiri Da, aku gak mungkin ninggalin perasaanku di Garut sedangkan ragaku harus pergi ke Bandung," Selva terduduk lemas di bangku taman sekolah, sebenarnya dia tidak masalah jikalau Devan jadian dengan Rima, masalahnya hatinya masih saja tidak tenang mengetahui dia akan pergi sedangkan perasaannya belum mati, mungkin tak akan pernah mati.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang