Secangkir Bintang dalam Gelas Rindu

4.6K 96 10
                                    

"Inilah surealis, sebuah gerakan (termasuk dalam sastra) yang pada awalnya lahir dari dunia mimipi dan alam bawah sadar. Maka tak heran karya surealis selalu menghadirkan cerita-cerita yang aneh, ganjil dan irasional."
-Agus Linduaji-

Kemarin author mencoba menaklukan genre cerpen ini. Soal berhasil atau tidaknya, ya tergantung respon reader sekalian. 😅

Nahh... jangan terlalu memikirkan maksud ceritanya apa, surealis itu lebih ke... nikmati saja kata-katanya.

Happy reading 😉

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kau tahu, ternyata sebuah kata bernama rindu bisa mengubahmu menjadi pribadi yang berbanding terbalik. Contohnya aku, ya aku!

Dengar! Biasanya aku akan bersikap masa bodoh, tapi sekarang aku mendapati pantulan diriku tengah merengut, kadang mencibir dari balik meja kaca. Kedua sikuku berusaha menopang kepala yang sudah terasa berat, terbebani rindu.

Seorang pelayan menanyakan pesanan, mungkin bosan karena memandangiku yang hanya terdiam lesu. Aku malas memandangnya, terutama ketika ekor berbulu tebal di belakangnya berusaha menggoda pipiku.

"Apapun selain rindu," jawabku muram. Dia membalas dengan auman lalu merangkak pergi.

Beberapa kedip mata kemudian, seseorang mengantarkan pesanan. Tidak, dia bukan pelayan tadi, yang ini lebih manusiawi. Mungkin pelayan tadi sedang menenggelamkan dirinya dalam kata-kataku yang terkesan dalam.

"Apa ini?" Tanyaku ragu ketika melihat beberapa bintang dalam berbagai ukuran. Mereka berenang-renang dalam cairan kental berwarna biru.

Pelayan itu berbisik, "ini secangkir bintang dalam gelas rindu."

Aku memutar mata, "bukankah sudah kubilang, aku muak dengan rindu!" Pelayan itu tersentak lalu mendesis.

"Yasudah, pergilah," kataku lebih pelan. Aku hanya berharap dia tidak menaruh racun dalam minumanku.

Aku melirik minuman itu. Para bintang masih berputar, seakan melupakan fakta kalau mereka tidak lagi berada di antariksa.

Sejenak, aku merasa senasib dengan mereka. Terperangkap dalam kungkungan rindu, tanpa tahu apakah mereka bisa mencecap lagi kebebasan, atau akan mati kelelahan karena berkejaran dengan waktu. Mungkin juga mereka berfikir akan meledakkan diri, menjelmakan supernova. Setidaknya mereka akan melahirkan bintang baru.

Baiklah... aku mengalah. Lebih baik membantu kalian bukan? Setidaknya aku akan mempunyai teman seperjalanan.

Pahit. Aku bergidik ketika memisahkan bibir gelas dengan bibirku. Ya ampun... minuman macam apa ini?

"Kenapa melipat dahimu seperti itu?" Tanya seorang pria yang entah sejak kapan sudah duduk di depanku.

Aku tidak tahu siapa dia, yang pasti wajahnya berbeda. "Rasanya pahit." Aku menunjuk gelas di hadapanku dengan dagu.

Tanpa permisi dia meraih gelas lalu menyeruputnya dalam-dalam. Dia tersenyum ketika menaruh gelas itu kembali. "Kamu bohong. Rasanya manis kok."

Apa... manis? Orang ini pasti sedang mengigau atau lebih parah mabuk. Tapi aku tidak mencium aroma tuak ketika dia berbicara, ini aneh. Apa aku yang bermasalah?

"Apa namanya?"

"Apa?" Pikiranku sedang kacau. Terutama ketika sosok yang coba kau lupakan malah semakin gencar merayapi angan.

"Nama minumannya," jawabnya tidak sabar.

"Oh itu... Namanya secangkir bintang dalam gelas rindu," jawabku tanpa minat.

Pria itu merenung, "pantas saja."

"Apa maksudmu?" Tanyaku bingung, tanpa sadar hatiku membangun antisipasi. Kumohon jangan bicara tentang rindu. Kumohon... kumohon...

"Rindu memang akan terasa pahit kalau hanya dirasakan sepihak."

Yahh... dia bicara, membuat barikade yang baru setengah kususun rubuh. Kini hatiku tanpa perlindungan, rapuh. Tanpa terasa sebulir air mata meloloskan diri, turun melalui pipi lalu jatuh menetes ke dalam cangkir. Para bintang terdiam.

"Memang," balasku terisak. "Lalu kau mau menyombongkan diri karena merasakan manisnya rindu? Mungkin karena rindumu berbalas. Kalau begitu selamat."

"Terimakasih..." pria itu meraih tanganku lalu menggenggamnya erat, "karena membalas rinduku."

Apa? Bicara apa pria ini?

Dia melepaskan satu tangannya, lalu membuka sebentuk wajah yang selama ini menutupi wajahnya. Topeng yang kukira wajah sebenarnya. Astaga! Dia! Itu dia yang kurindukan. Matanya bersinar karena cahaya bintang telah berpindah ke dalam sana.

Saat ini aku membalas senyumnya. Sebisa mungkin terlihat tenang, padahal ada rasa yang meledak dalam diriku, seperti Supernova, melahirkan jiwa yang baru.

"Cobalah lagi." Dia menyodorkan secangkir bintang dalam gelas rindu, yang kini sudah setengahnya.

Aku menyeruputnya dalam-dalam, merasakan sensasi damai ketika cairan biru itu perlahan merayapi kerongkongan. Sebuah rasa yang tidak pernah kurasakan mencuat, menggantikan rasa benci yang sempat mengendap. Dan bintangnya bukan tertelan, tapi terserap ke dalam aliran darah yang kini mengalir deras. Aku merasa hidup.

"Sangat manis," ucapku apa adanya.

Garut, 7 Juli 2016

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang