"Aku benci hujan," gerutuku dalam hati.
Udaranya selalu berhasil membuatku mengigil. Apalagi suaranya, bisa kau dengar? Bergemericik, membuat bulu kuduk siaga. Seperti malam ini.
Bibirku terus menggerutu. Jika bukan karena Bu Anna yang mendesak untuk menyelesaikan rekapan keuangan perusahaan bulan ini, mungkin aku sudah tertidur pulas. Dasar senior egois, hanya karena aku baru bekerja satu bulan yang lalu dia tidak bisa terus menerus menjadikanku sebagai seorang pekerja Rodi.
Kakiku terus melangkah menembus rintik hujan yang terasa mengigit. Kenapa aku tidak membawa payung tadi pagi, sial. Dasar pelupa. Seharusnya aku juga memakai jaket tebal bukan sweater tipis seperti ini.
Tidak seperti malam sebelumya, hari ini terasa lebih sepi. Padahal baru jam sepuluh malam. Untuk kota sebesar Kota Bandung tentulah terasa aneh. Biasanya banyak mojang dan jajaka yang masih memburu kuliner unik untuk dinikmati bersama kawan. Aku saja sedang membayangkan seblak tulang ceker level 6 yang selalu jadi langganan di depan gang menuju kosan.
Ahh. Aku meratapi nasib. Bukan saja karena sekarang seluruh tubuhku basah oleh air hujan tapi tenggorokan juga rasanya sudah banjir dengan air liur.
Kepalaku celingukan. Tidak ada mobil yang berseliweran. Aneh. Mungkin mereka juga berfikiran sama denganku, merasa kesal karena hujan memupuskan keinginan mereka untuk berkeliaran.
Aku adalah orang yang takut menyeberang. Situasi ini benar-benar menguntungkan, sehingga aku tidak perlu melihat ke kiri dan ke kanan saat akan melintas ke seberang. Halte bis di depan alun-alun pun terlihat sepi. Hanya ada seorang gadis kecil berambut panjang sepinggang tengah duduk menunduk.
Aneh. Seharusnya anak sekecil ini sudah ada di rumah bersiap berfantasi ke alam mimpi. Aku merasa ragu untuk duduk, perasaanku tidak enak.
Kalau dilihat dia sepertinya berumur sekitar sembilan tahunan. Rambutnya panjang dengan poni yang menutupi kedua matanya karena menunduk. Aku tidak bisa melihat matanya, sedang terbuka atau menutup. Rambutnya berwarna coklat kemerahan, seperti sudah terlalu lama terkena paparan sinar matahari. Bajunya juga kumal.
Suasana terasa mencekam. Sunyi sepi. Ditemani gemericik air yang jatuh, suaranya seperti menggugah imajinasi horor yang aku ciptakan sendiri. Terutama setelah melirik gadis cilik yang masih menunduk di sebelahku. Aku membayangkan seringainya, atau saat dia cekikikan dan tatapan matanya yang berwarna merah. Spontan aku menelan ludah.
Sepertinya imajinasiku menjadi terlalu liar, sehingga aku bergidik ngeri. Fanya! Berhenti berfikiran negatif. Bagaimana jika anak ini tidak punya rumah untuk pulang. Ketakutanku berubah kilat menjadi rasa iba. Aku memutuskan untuk memecah keheningan.
"Dek, kok belum pulang?"
Hening. Dia tidak menjawab."Nunggu hujan reda ya?"
Sunyi. Dia masih bungkam, tapi aku tidak mau menyerah."Hujannya jahat ya? Masa sampai jam segini belum juga reda. Kakak juga sama kejebak. Mana dingin lagi," kedua tanganku memeluk diriku sendiri. Aku menoleh, dia masih menunduk.
Bulu halus di sekitar tengkukku meremang. Tanganku mengusap-usap daerah sekitar belakang leher dengan pelan, mencoba membujuk diriku sendiri agar bersikap tenang. Hujan sialan. Aku masih tetap menyalahkan hujan yang terus mengkonfrontasi otakku untuk berfikir tidak rasional.
"Pergi!" Tiba-tiba gadis kecil itu berteriak. Membuat tubuhku melonjak ke samping.
Gadis itu menunjukan wajahnya. Tidak ada yang aneh, matanya juga tidak merah. Aku mengelus dada.
Dia seperti gadis seumurnya. Namun, kata-katanya begitu dingin dan pandangannya begitu tajam, dia melotot kearahku.Aku menelan ludah. Mencoba melupakan fantasi tentang mata yang berdarah, gigi yang runcing dan tawa cekikikan. Tapi aku tidak bisa menepisnya.
"Jangan salahkan hujan!" Dia masih berteriak kearahku.
"Tapi aku.. tidak.." aku gelagapan menjawab pertanyaannya.
"Jangan ganggu aku lagi!" Bentaknya yang sudah ada di hadapanku. Rambutnya yang tergerai panjang tertiup angin ke belakang, begitu pula dengan poninya. Kini aku bisa melihat seluruh wajahnya, dia terlihat kucel.
Aku tidak mengerti. Bertemu dengannya saja baru hari ini. Aku mencoba mengelus kepalanya, tapi dia menghindar. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang terjadi.
"Adik kecil, kakak baru hari ini bertemu denganmu."
"Kamu selalu bilang begitu!," bentaknya lagi. "Saat kemarin, kemarinnya, dan kemarinnya lagi. Kamu selalu mengulang-ulang kata-katamu tentang hujan."
"Aku tidak mengerti," kataku pasrah.
Dia menyodorkan sobekan koran yang ada di saku belakangnya. Aku membaca headline-nya. Seorang gadis tertabrak mobil saat menyebrang ke halte. Aku terenyak ketika melihat foto yang menampilkan seorang gadis berwajah tirus dengan tahi lalat di pipi kanannya. Astaga, itu aku.
Mataku menatap ke seberang. Menerawang. Beberapa hari yang lalu, hujan deras menguyur Bandung seperti air yang sengaja di tumpahkan Tuhan. Aku ingat bajuku basah kuyup karena hanya mengenakan sweater tipis dan aku ingat suara gemericik itu, suaranya tidak pernah berhenti mengusik telingaku.
Aku sangat ingin sampai ke seberang dengan cepat, jadi aku melintas tanpa melihat kirikanan. Detik berikutnya gelap. Lalu aku terbangun di depan tumpukan laporan keuangan.
Tidak! Aku menjatuhkan potongan koran itu. Tidak. Tidak mungkin. Aku masih hidup. Aku masih bisa merasakan semuanya. Emosi, kesakitan hati dan kesepian tiada tepi. Bukankah kematian itu seharusnya damai?
"Tidakkk!," jeritku. Jerit melengking yang dapat memekakkan telinga. Tapi tidak ada yang bereaksi. Sunyi. Seakan Bandung telah menjadi kota mati.
Mataku tertunduk ke bawah, genangan air itu berubah merah. Aku bukan kuyup oleh hujan tapi oleh darahku sendiri. Tangisku pecah ketika melihat baju putih yang tersembunyi di balik sweater coklatku. Baju putih itu berubah warna menjadi kemerahan.
Aku dapat melihat wajahku tercermin di bawah sana. Mataku berubah merah, air mata yang seharusnya bening, mengalir berwarna merah. Aku mengedarkan pandangan dan semuanya terlihat berwarna merah. Aku muak dengan warna merah.
Gadis kecil itu menatapku nanar, tangannya mengusap pundakku perlahan. Aku membalas tatapannya, mencoba mencari jawaban atas apa yang terjadi padaku. Namun, dia hanya tersenyum simpul.
"Jangan salahkan hujan, hanya karena kamu mati di tangan hujan." Dia berlalu pergi dengan gemericik lebat hujan malam ini.
Sedangkan aku masih terpaku. Dalam hati aku meminta maaf kepada hujan. Hujan yang selalu kucaci kehadirannya kini akan menjadi teman perjalanan. Entah sejak kapan suara gemericiknya terdengar merdu. Membuatku merasa damai. Dia mengajakku berbaur, melebur bersamanya menjadi satu genangan bernama kenangan.
Garut, 17 Maret 2016
Event Akibat Gemericik Air
Deza Publishing
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Kort verhaalIni adalah kumpulan Cerpenku yang menjadi kontributor dalam event menulis. Ilustrasi dibuat oleh saya sendiri, dengan sumber gambar dari We Heart It, dan proses editing di Picsart. Enjoy the story ;D