Tenggelam

6.8K 98 6
                                    

"Neng, anak ibu neng!" Teriak seorang wanita dari arah berbeda. Membuat kakiku mengurungkan diri untuk berbelok masuk ke pintu gerbang.

Viona yang berada di sebelahku memperbaiki letak kacamatanya, matanya dipicingkan karena rumah di sekitar kami dari jam setengah sepuluh malam sudah mulai remang. Dari jauh aku sudah mengenalinya. Itu Ibu Nunung yang tinggal di sebelah rumah kos-kosan yang menjadi tempatku bernaung saat ini di daerah Cibeusi, Jatinangor.

Dia mendekatiku, terlihat jilbabnya yang berwarna biru muda berubah sedikit menjadi biru tua karena basah oleh air mata.

"Neng, Arif belum pulang! Ibu sudah nyari ke semua temannya, tapi mereka juga bilang nggak tahu." Nada panik sangat kontras di setiap kata yang dia ucapkan.

Arif, yang kutahu dia baru berumur kurang lebih 7 tahun. Setiap pagi aku selalu melihatnya bermain sepak bola di loteng rumahnya yang sejajar dengan loteng kosan.

"Ibu sudah melapor ke Ketua Rt?" Tanyaku spontan.

"Sudah. Tapi ibu belum tenang neng." Suaranya bergetar. Tangannya meraih jilbab untuk mengusap air matanya lagi.

"Sabar ya bu," ucap Viona sembari mengenggam tangan kanan Bu Nunung.
"Gini aja, nanti kalau besok masih belum pulang, kita anter ibu ke kantor polisi ya."

Aku melirik Viona. Jarang-jarang dia mau membantu orang. Biasanya kalau tidak ada jadwal kuliah dia akan menghabiskan waktunya di depan laptop. Merangkai kata untuk dijadikan sebuah frasa. Entah lah aku tidak mengerti, hanya anak Sastra seperti dia yang tahu apa artinya. Sedangkan aku yang anak Psikologi hanya tahu Avoidant, Dysania, Rhotascim.

Viona menyenggol bahuku.
"Eh.. iya bu, nanti kami bantu," tuturku sambil tersenyum.

"Nuhun ya neng, nuhun pisan." Ibu Nunung berlalu masuk ke rumahnya. Begitupun dengan Viona yang sudah menapaki halaman kosan, aku mengekor di belakangnya.

Kamarku berada di lantai dua, begitupun Viona. Kamarnya tepat berada di depan kamarku. Suatu keuntungan, karena dia paling rajin bangun pagi. Sedangkan aku kebalikannya. Dia selalu senang hati menghujani pintuku dengan gedoran ala bedug idul fitri.

Viona sudah masuk ke kamarnya, meninggalkan aku yang masih mengaduk-aduk tas oranye milikku. Aduh dimana kuncinya.
Tidak seperti biasanya, lorong di lantai dua terlihat sepi. Bahkan kamar Arin yang selalu terdengar alunanvlagu korea mendadak sunyi.

Ujung mata kananku menangkap bayangan seseorang di tangga menuju lantai tiga, tempat mengeringkan pakaian di bawah terik sinar matahari. Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa disana. Jangan berhalusinasi Nadia.
Bulu romaku tiba-tiba berdiri, entah apa yang membangunkannya. Udara dingin bulan Desember, atau...
Ohh Nadia fokus, kunci.. kunci..
Dimana kuncinya. Oh, ini dia. Akhirnya.

Sebentar, punggungku terasa panas. Seperti ada seseorang di belakangku. Aku tidak ingin menoleh. Sumpah, perasaanku tidak enak. Tanganku mendadak gemetar, membuka pintu saja seperti membuka peti mati. Susahnya... minta ampun.

Ketika pintu berhasil terbuka, tanpa menoleh kebelakang, aku menghambur masuk ke dalam kamar. Menggeser kunci selot, lalu perlahan mundur kebelakang.

Apa itu. Ada bayangan seseorang yang sedang berdiri di depan pintu kamarku.

Rasa penasaranku semakin menguat, karena bayangan itu tidak bergerak sedikitpun. Aku menurunkan kepala hingga pipiku berciuman dengan lantai dingin. Dari lubang bawah pintu yang tidak terlalu lebar, tidak ada kaki yang menapak disana. Aneh fikirku.

Tiba-tiba sepasang mata cokelat membalas tatapanku dari bawah pintu. Tatapannya tajam dan menusuk. Aku tersentak kebelakang. Jantungku berdetak tidak keruan, begitupun dengan nafasku yang memburu tidak sesuai.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang