Mengukir Nama Ayah

5.8K 147 9
                                    

Dulu seringkali daun di halaman rumahku menjadi kanvas, dan sebuah lidi menjadi kuas. Bukannya ingin menggambar sesuatu tapi aku mengukirnya dengan sekumpulan huruf yang tersusun menjadi sebuah kata, Ayah.

Sekarang pun masih sama.
Beberapa daun berserakan di bawah kakiku, ada yang masih hijau dan ada yang sudah menguning, hingga ukiran di tengahnya berubah menjadi cokelat dan nama Ayah tercetak semakin jelas, namun tetap... dia tidak pernah nampak.

Kata Ibu semenjak datangnya seorang kawan lama, mereka merantau ke kota.

"Bu, Ayah bakal pulang kan?" Tanyaku sewaktu lebaran ke sepuluh. Rinduku membuncah, ingin bertemu ayah.

Beliau tersenyum sabar lalu memberikan sebuah amplop yang katanya dari Ayah.

Seperti tahun sebelumnya dan sebelumnya. Hanya uang saja, padahal aku berharap bertemu dengannya, hanya menatap potret pernikahan mereka tidaklah cukup, aku ingin seperti anak lainnya, dipeluk dan dikasihi oleh seorang Ayah. Sekali lagi aku mengalah.

Namun saat menginjak lebaran ke tujuh belas aku berhenti bertanya. Meskipun kebiasaanku mengukir nama Ayah masih tetap di lanjutkan hingga peti penyimpanan sudah terlalu penuh untuk ditekan.

Terasa aneh. Entah kenapa, semakin dewasa tercium gelagat yang membuat curiga. Ibu tidak pernah tidur cukup, waktunya tersita untuk menjahit baju, membuat kue basah yang akan dititipkan ke warung sebelah, bahkan mencuci baju tetangga hingga tangannya memerah. Tapi tetap saja, uang seolah tidak pernah cukup untuk membayar iuran sekolah.

Lalu sebuah realita menampar pipiku ketika suatu siang menaiki angkutan umum dengan serangam putih-abu. Awalnya tidak ada yang ganjal, tapi saat ujung mataku melirik ke pojokan, wajah yang selalu kurindukan tengah menggendong anak perempuan dan di sampingnya duduk seorang wanita paruh baya, seumuran dengan Ibu.

Setidaknya sebuah senyuman, tapi tidak kudapatkan. Sadarlah, dia memang tidak tahu rupa, atau memang dia terlena dengan keluarga barunya. Begitulah hidup, tidak selalu bahagia, tidak sempurna.

Pulang berlinang air mata, tanpa bicara. Semula Ibu hanya berpikir karena tekanan anak remaja, namun ketika menemukanku sesegukan dengan menggengam dedaunan kering, hingga remuk, menyerpih. Dia sadar, kenyataan telah menampar angan.

"Tenang nak, bagaimanapun perangainya dia tetap ayahmu, panutanmu."

Bagaimana mungkin? Aku ingin berteriak bagaimana bisa! Tapi suaraku enggan meluncur keluar, tertahan isakan.

Sekarang genap dua puluh dua lebaran. Sudahlah, aku tidak lagi mengharapkan Ayah. Bagiku dia sudah melaju bahkan ketika angkutan kota menurunkanku sedangkan dia terus membawanya entah kemana, aku tidak mau tahu.

Tadi malam Ibu mengelus rambut panjangku, mungkin untuk yang terakhir kali. "Fahira, besok kamu membutuhkannya untuk ijab qabul."
Aku tahu, tapi aku tidak mau.

"Dia tidak layak bu. Aku tetap akan memanggil wali hakim, karena kurasa lebih baik didampingi oleh orang asing daripada orang penting yang melalaikan tanggungjawabnya hingga menjadi asing." Ibu terdiam.

"Tetap saja dia akan datang, bagaimanapun juga dia berhak melihatmu bersanding di pelaminan," tuturnya lembut lalu menyudahi aktifitasnya.

Malam merambat, seolah merayap pada detik ke detik yang terasa amat lambat. Aku tersesat. Pada waktu dimana dia tersenyum hangat. Aku tidak iri pada adik tiri, hanya... terasa sedikit nyelekit.

Tapi setidaknya aku masih punya ayah.

Ya! Masih punya.

***

"Alhamdulillah..., keputusanmu sudah benar nak." Ibu menggenggam tanganku yang kini penuh heena. "Jangan memelihara sifat dendam, karena dendam seperti meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."

Aku mengangguk pelan, lalu beliau memelukku, erat. Rasanya seperti perpisahan. Air mulai menggenang di pelupuk mataku, tapi masih bisa kutahan.

Adik laki-lakiku masuk, wajahnya pucat, kontras sekali dengan jas hitam yang membalut tubuhnya. Dia tidak berkata apa-apa kecuali menyerahkan ponsel yang masih terhubung dengan seseorang kepada Ibu.

Ekspresi ibu menyiratkan ketidakpercayaan. Ada yang salah. Ketika sebulir air mata jatuh dari pipinya, aku semakin yakin sesuatu tengah terjadi, dan itu buruk.

"Ayahmu res, di-dia kecelakaan!" suaranya tercekat, "Nyawanya tidak tertolong."

Hatiku mencelos. Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin, aku baru saja memberikannya kesempatan. Dia tidak boleh pergi begitu saja!

***

Gaun putihku berganti hitam. Kubawa peti penyimpanan yang kini sudah mulai usang, sama seperti kumpulan ukiran daun yang sudah mulai mendebu didalam.

Daun terakhir kuukir, dengan doa, semoga dia tenang di alam sana.
Ayah.

Garut, 17 Agustus 2018

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang