Terbang Jauh

181 8 2
                                    

Pagi ini tidak seperti biasanya. Jalanan lebih lengang. Aku menatap ponsel. Tidak ada ucapan selamat pagi dari Bisma hari ini. Aku kembali memasukkan ponselku ke dalam tas. Rama dan Jaya masih seperti biasanya. Mereka tetap saja berisik di dalam mobil. Membicarakan soal game yang mereka mainkan semalam. Ayah menyetel tape mobil. Mendengarkan berita pagi ini. Penyiar radio membacakan berita soal semalam telah terjadi kecelakaan pesawat jet pribadi tipe 579-9, pesawat kelas bisnis milik salah satu konglomerat di kota ini yang sedang menuju Eropa. Aku membatin iba dalam hati. Kasihan sekali mereka. Mungkin mereka hendak berlibur. Tapi malah tertimpa bencana. Aku mendengarkan berita itu hingga selesai. Namun rasanya aku familiar dengan tipe pesawatnya. 579-9. Seperti pola angka yang ku kenal. Tapi pola apa. Aku masih bertanya-tanya pagi itu. Hingga sesampainya di kelas, aku melihat Fara menangis. Disaat itulah aku menyadari bahwa sesuatu buruk telah terjadi. 579-9 adalah pola yang mirip dengan tanggal lahir dari Basma dan Bisma. Pesawat itu milik keluarga mereka.

Aku mendekati Fara, bertanya ada apa. Fara hanya menjawab singkat. "Kecelakaan itu, Al." Saat itu juga perasanku berubah menjadi tidak keruan. Aku terhenyak, duduk di bangku. Aku seperti bisa merangkai kejadian buruk ini dengan jelas. Aku menghubungi Bisma, meneleponnya berulang kali. Tapi tidak ada jawaban. Basma-Bisma, mereka berdua pun tidak masuk kelas hari ini. Fara mengatakan kalau pesawat itu memang milik keluarga Basma-Bisma. Papa Fara yang merupakan kolega dari keluarga Basma-Bisma membenarkan berita yang disiarkan pagi ini. Aku mulai panik.

Aku gemetar membaca berita yang cepat tersebar di berbagai media itu. Semua stasiun televisi dan radio menjadikan berita itu menjadi berita highlight hari ini. Bahkan berita itu sudah masuk di majalah online dan semua akun infotainment di media sosial. Akun-akun 'Lambe' juga memposting tentang kecelekaan pesawat itu. Aku benar-benar panik hingga menangis tidak percaya. Aku masih berusaha menghubungi Bisma berulang kali. Aku menangis, mencemaskannya. Aku tidak terpikirkan menelepon Basma sama sekali. Kalau waktu itu, saat pertama kali aku mendapatkan nomor telepon mereka, aku lebih dulu menelepon Basma, sekarang justru yang ada di pikiranku hanya Bisma.

Aku terduduk lemas di bangku, menangis terus-menerus. Rasanya air mataku tidak mau berhenti. Sementara Fara berusaha mencari kabar Basma dan Bisma. Ia menelepon papanya.

"Ada beberapa orang yang naik pesawat itu, Al." kata Fara memberitahuku. Dadaku sesak, seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. "Dan.." kata Fara menggantung ucapannya.

"Dan apa?" kataku buru-buru bertanya.

"Hanya salah satu dari Basma atau Bisma yang ikut rombongan itu." Air mataku sempurna bercucuran. Ototku lemas, tanganku yang masih memegang ponsel gemetar. Dadaku semakin sesak. Aku bertanya siapa.

"Bisma." kata Fara menjawab lirih.

Aku kembali menangis. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Baru kemarin aku bersama Bisma. Tapi sekarang, dia sudah pergi meninggalkanku. Aku teringat kembali ucapannya kemarin saat perjalanan pulang dari kedai kopi. Dia yang terlihat sangat berbeda. Dia yang seperti berusaha mengucapkan kalimat perpisahan. Aku yang menyumpal mulutnya, menyuruhnya berhenti bicara. Dan kini aku benar-benar menyesalinya. Semesta hari ini benar-benar sedang bercanda.

Saat semua orang mengiyakan kematian Bisma, aku masih menggeleng, tidak percaya. Aku memberanikan diri, bertanya pada Basma. Apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia mau pergi ke Jerman, Al. Dan aku tidak mengira akan seperti ini." kata Basma menjelaskan. Ada gurat kesedihan di matanya. Basma mau ku ajak bertemu di kedai kopi yang menjadi langgananku dengan Bisma. Aku tidak yakin saat menghubunginya dan meminta untuk ketemuan. Aku mengira dia akan menolak. Karena setahuku, dia sedang menghindar dari media yang berusaha untuk mewawancarainya.

Sebatas SukaWhere stories live. Discover now