Pria Dingin

110 7 1
                                    

Gilang tidak kembali ke Jerman. Dia akan tinggal beberapa bulan di Indonesia bahkan menetap untuk waktu yang lama. Aku tidak mengerti alasannya. Dasar cowok random. Ya. Sebutan random memang cocok untuknya.

Sore ini aku mengantar Rama ke rumah Basma. Akhir-akhir ini Rama sering pergi ke rumah Basma karena sebentar lagi akan ada pertandingan sepak bola tingkat provinsi. Sehingga dia sangat giat untuk berlatih bola. Sejak lebih dekat dengan Basma, anak itu menjadi manja. Dia tidak lagi berlatih di lapangan GOR. Karena rumah Basma sendiri memang luas. Cocok untuk dijadikan sport track. Basma sering mengajak Rama berlatih di rumahnya saja. Dan Rama selalu mengajakku padahal aku juga tidak punya kepentingan apa-apa dengan Basma. Kata Rama aku diminta jadi asistennya. What? Aku sempat menolak dengan keras. Tapi Rama buru-buru memperbaiki kalimatnya sambil memohon kepadaku. Akhirnya aku menyetujuinya dengan satu syarat.

"Apaan neng?" Rama sudah mengenakan jersey sepak bolanya bersiap pergi ke rumah Basma. Dia juga sudah selesai mengikat tali sepatunya.

"Pijitin gue tiap habis latihan." kataku. Sekali-sekali aku yang menjaili Rama. Rama sempat menolak. "Yah, kan gue udah capek neng habis latihan ya masa.."

"Gue gajadi mau nganterr.." sahutku memotong ucapannya.

"Eh iya iya. Yaudah. Gue pijitin lo. Bentar aja tapi ya." kata Rama menawar.

"Fine."

Aku memasukkan earphone, ponsel dan buku-buku tugas ke dalam tasku. Aku juga membawakan minum untuk Rama. Kami berdua berangkat selepas sholat ashar. Rama memboncengku dengan motornya.

Sampai di Rumah Basma, kami disambut oleh satpam yang selalu standby untuk membukakan gerbang rumah bak istana itu. Dia menyapa Rama dan aku. Dia satpam yang ramah. Sepertinya pemilik rumah ini memang memperlakukan pekerjanya dengan baik.

"Hei, Rama!" Gilang menyapa kami yang baru saja sampai di depan rumah Basma.

"Bang Gilang!" kata Rama, balas menyapa.

Gilang muncul dari balik pintu sebelum kami menekan bel pintunya.

"Lo tinggal disini?" kataku bertanya.

"Iyalah. Mau tinggal dimana lagi." Dia menyeka dahinya yang berkeringat. Dia seperti habis lari keliling lapangan. "Yuk, masuk! Jangan bengong." Kata Gilang mempersilahkan sudah seperti rumahnya sendiri.

Rama melangkah masuk ke dalam rumah Basma. Disusul Gilang yang berusaha menyejajari langkah Rama lalu membicarakan sesuatu. Mereka meninggalkanku dan masuk lebih dulu. Dasar cunguk!

Aku melangkah pelan memasuki rumah itu. Gilang dan Rama sudah lenyap di balik dinding menuju halaman belakang. Aku masih terhenti di samping sebuah laci yang terbuat dari marmer. Ada foto-foto yang disusun rapi, berjajar di atas laci itu. Di atas dinding juga ada foto sebuah keluarga. Itu sepertinya foto keluarga Basma.

Di sebelah foto keluarga mereka, ada foto Basma-Bisma kecil tengah membawa bola. Basma yang postur tubuhnya sedikit lebih tinggi tengah merangkul adiknya. Terlihat bahagia sekali mereka berdua. Dan di sebelah foto mereka ada foto seorang perempuan kecil. Siapa dia? Aku bertanya-tanya. Dia begitu cantik.

"Neng, ini diminum dulu. Sudah Bude buatkan teh anget." Perempuan paruh baya dengan garis lurus berwarna putih di rambutnya itu tiba-tiba datang membawakan minuman untukku. Aku masih ingat namanya Bude Laksmi.

"Eh." Aku terperanjat. "Terima kasih, Bude."

Bude meletakkan cangkir berisi teh sekaligus sepiring camilan di atas meja yang bersebrangan dengan laci marmer.

Sebatas SukaWhere stories live. Discover now