Di Batas Waktu Mencintaimu

90 7 2
                                    

"Tolong kasih saya waktu 5 menit. Sebentar saja." Aku memohon pada tenaga medis yang bersiap melakukan transplantasi jantung. Dokter dan para perawat mengenakan baju steril, memakai handscone sekaligus masker hendak melangkah ke dalam ruang operasi. "Tolong, dokter. Sebentar saja. Saya ingin bertemu pendonor." kataku memohon sekali lagi.

Gilang membantuku menjelaskan. Akhirnya mereka memberiku kesempatan waktu 5 menit sesuai permintaanku. Aku pun mengenakan pakaian steril sesuai SOP di dalam ruang operasi. Aku masuk ke dalam, mendapatkan mereka berdua, Basma-Bisma tergeletak tak berdaya di atas bed. Astaga, jantungku rasanya seperti mau runtuh. Saat ini, mereka tidak hanya sekedar melakukan transplantasi jantung. Tapi mereka juga sedang bertukar kehidupan demi menyelamatkan yang lain.

Aku berjalan mendekati Bisma. Wajah 3 tahun silam yang duduk bersamaku di kedai kopi malam itu, bagaimana aku tadi bisa lupa dan tidak mengenalinya. Aku menunduk, mendekati wajahnya.

"Hai. Apa kabar?" kataku pelan berbisik di telinganya. Seluruh beban rasanya kembali terkumpul di pelupuk mataku. "Ini, Alika." lanjutku berbisik. Bisma bergeming. Tapi aku yakin dia bisa mendengarku. Mataku berkaca-kaca.

"Maaf, aku tadi tidak mengenalimu." Air mataku menetes, membasahi masker yang ku kenakan. "Aku merindukanmu, Bisma. Aku juga menyayangimu." Sungguh aku tidak bisa menahan tangisku yang semakin isak. "Apa kamu kesulitan selama ini, Bis? Kamu kesepian? Maaf aku tidak bersamamu. Maafin aku, Bisma..." tangisku pecah. Jika ini bukan ruang operasi aku benar-benar ingin memeluk Bisma. Menangis sekencang-kencangnya. Melepas rindu meski hanya sebentar. Tapi sayangnya waktuku tidak banyak, perawat sudah memberiku kode agar segera meninggalkan ruangan. Operasi ini akan segera dilakukan. "Bisma, Aku pamit. Terima kasih karena kamu tidak hanya memberi kehidupan untuk Basma. Melainkan untukku juga. Terimakasih, karenamu dan sungguh karena pengorbananmu, aku bisa melihat kehadirannya di batas waktu mencintaimu." Aku perlahan bangkit, beranjak keluar dan menatap Bisma untuk terakhir kalinya.

Selamat tinggal, Bisma.

Bagaimanapun kisahnya, perpisahan adalah bagian yang selalu menyakitkan. Menangislah sekeras-kerasnya agar kau bisa kembali hidup. Aku kembali mengingat pesan Bisma waktu itu. Dia menyuruhku untuk tetap melakukan segala hal yang aku inginkan, memenuhi keinginanku yang belum terwujudkan agar aku bisa bertahan. Jangan menangis berlarut-larut. Jika dirasa berat dan menyesakkan dadamu di suatu malam, menangislah sekali lagi sampai datang waktu pagi. Ketika terbangun, lakukan kembali segala hal, teruslah mempersibuk diri. Hingga kamu benar-benar tidak menyadari bahwa sebenarnya kamulah yang menolong dirimu sendiri. Hingga kamu tidak menyadari bahwa sekarang, kamu sudah berhasil melanjutkan hidup kembali.

Dokter sudah memasuki ruang operasi. Pintu ruangan ditutup. Operasi sudah dimulai. Aku berjalan gontai, menghampiri Gilang.

"Basma tahu soal ini?" kataku pelan menepuk punggung Gilang. "Apa yang bakal lo sampein ke Basma kalau dia sadar nanti?"

Gilang menggeleng. Tatapannya kosong. Hening. Rama yang masih terisak duduk di ujung bangku, membisu. Aku dan Gilang pun hanya diam, menunggu.

***

Aku menyingkap tirai jendela. Cahaya matahari di pagi hari yang hangat menimpa wajah Basma. Aku mengganti bunga yang layu di dalam vas. Duduk di sampingnya, kembali menatapnya. Sudah tiga hari aku menunggunya siuman. Operasinya berjalan lancar. Aku selalu berharap dia bisa segera pulih dan kembali membuka mata.

Ruangan ini mewah untuk ukuran kamar di sebuah rumah sakit. Tapi terasa sepi. Bahkan suara AC yang selalu menyala terkadang aku bisa mendengarnya. Suara alat pemonitor tanda vital pun selalu terdengar di telingaku. Tapi rasanya masih sepi. Aku hendak menyalakan televisi, mencari remote tv. Aku bangkit, masih mencari dimana remote tv itu diletakkan.

"Di dekat TV, Al."

"Oh iya, disitu." Aku tidak menyadari bahwa baru saja ku mendengar suaranya. Aku tetap melangkah dan menyalakan televisi. Televisi pagi itu menyiarkan berita soal perceraian artis yang umur pernikahannya baru seumur jagung. Aku bosan mendengar gosip dan berita infotainment. Ku pencet-pencet tombol remote, mencari stasiun TV yang ku sukai. Dalam sepersekian detik aku tercekat, berhenti menekan tombol. Suara siapa tadi yang menjawabku? Bukankah di ruangan ini hanya ada aku dan Basma. Aku memutar badan, menoleh ke belakang. Laki-laki dengan wajah pias itu sudah duduk dan tersenyum padaku. Aku refleks meletakkan remote TV di sembarang tempat. Tak memedulikan acara TV yang sedang berlangsung.

"Udah siuman?" kataku menyomot pertanyaan sekenanya. Laki-laki itu lagi-lagi hanya tersenyum. Agak berbeda rasanya. "Udah kamu tidur dulu ya. Jangan banyak gerak." Aku menyuruhnya rebahan lagi, kubenahi selimut yang menutupi tubuhnya. Lagi-lagi aku tidak menyadari sesuatu. Sejak kapan aku memanggil Basma dengan sebutan 'kamu'. Mungkin sejak dia tersenyum tadi.

"Duduk, Al." Basma memegang pergelangan tanganku. Aku kembali duduk di sampingnya. Basma menatapku dalam. Aku hampir aja dibuat salah tingkah. Laki-laki ini baru saja siuman tapi sudah mampu membuatku tersipu.

"Kenapa, Bas?" kataku kembali menatapnya, berusaha memasang wajah senormal mungkin.

"Aku pikir aku udah di surga, Al." kata Basma lirih, aku sedikit mendekatkan telingaku ke wajahnya.

"Jangan bilang begitu, Bas." kataku sama lirihnya karena jarakku dengannya menjadi sangat dekat.

"Abisnya aku liat bidadari sekarang." Basma tersenyum, ternyata dia menggodaku. Aku menelan ludah dan segera bangkit, menjauhkan wajahku yang tadinya sangat dekat dengannya. Mendadak salah tingkah. Sepintas aku melihat binar matanya, mirip dengan Bisma. "Aku cuma senang, Al." kata Basma serius, tidak lagi menggodaku. Ku perbaiki posisi dudukku. "Ternyata aku masih bisa membuka mata dan melihat wajahmu lagi." Basma lagi-lagi menyunggingkan senyum. Dia berbeda. Lebih hangat dari biasanya. Manusia es ini ternyata telah mencair. Aku tersenyum. Sekilas aku melihat bayangan Bisma lagi.

Akhirnya apa yang Bisma inginkan bisa terwujud. Meskipun Basma belum mengetahui siapa pendonor jantung untuknya. Aku akan bercerita lain kali, kamu harus sehat dulu. Kataku saat itu ketika Basma bertanya mengenai siapa orang yang sudah mendonorkan jantungnya untuknya. Sebaiknya aku tidak bercerita saat ini. Atau mungkin aku akan mengarang cerita suatu saat nanti. Aku hanya tidak ingin membuka luka lama. Dan kalaupun Basma memang harus tahu pada akhirnya, biarkan semesta yang bekerja untuknya.

Sejak saat itu, Basma dan aku seperti menjalani kehidupan yang baru. Dia kembali memiliki semangat untuk mengejar cita-citanya sebagai pemain sepak bola. Dan aku, kini harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sedangkan Gilang, dia kembali pulang ke Jerman. Sempat ada kesedihan yang menghampiriku ketika mengantarnya kembali, kami berpisah di bandara. Rama menangis melepas coach terbaiknya. Meski begitu, sesekali aku berkomunikasi dengannya lewat video call bersama Basma. Rama yang antusias selalu ikut nimbrung demi melihat coach kesayangannya. Mereka pun asyik membicarakan tentang sepak bola. Begitulah kehidupan kami pada akhirnya.

Aku tidak pernah tahu bagaimana cara semesta bekerja. Yang ku tahu, aku harus hidup sebaik-baiknya. Supaya aku bisa memberi kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarku. Dan Bisma, kamu tidak akan pernah terganti, selamanya hidup bersama kami.

-TAMAT-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 11, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sebatas SukaWhere stories live. Discover now