Surat dari Gilang

99 8 3
                                    

Kesiur angin pagi ini membuat suasana semakin sejuk. Matahari tidak terlalu terik. Aku dan Rama hendak berolahraga pagi ini. Ya, hari ini sekolah kami libur. Namun sejak shubuh tadi Rama sudah rusuh mengajakku berolahraga. Padahal aku berniat bangun siang, menikmati hari libur dengan bergelung di balik selimut. Aihh, alangkah nikmatnya. Rupanya hari mingguku kali ini menjadi mimpi buruk gara-gara si Rama tengik! Benar-benar menyebalkan!

"Neng." kata Rama menyeka dahi. Kami sudah berlari sejauh 4 kilometer.

"Hm?" Aku mengelap keringat menggunakan handuk kecil yang selalu ku bawa saat olahraga. Aku juga menggunakan sepatu yang diberikan oleh Bisma waktu dulu sebelum kecelakaan itu terjadi.

"Bang Basma sakit ya?" kata Rama bertanya. Aku terkejut karena aku belum pernah bercerita kepadanya.

"Tau darimana lo?" tanyaku.

"Rama kemarin ga sengaja denger eneng ngobrol sama bang Basma di atas tribun." kata Rama menjelaskan. Aku tidak tahu kalau dia menguping pembicaraanku dengan Basma kemarin.

"Eneng mau jenguk dia, Ram." kataku berinisiatif.

"Yaudah yuk sekarang." Rama tiba-tiba menarik tanganku.

"Eh, Ram!" Aku berlari kepayahan, menyejajari langkah Rama. Aku lupa adikku seorang pemain sepak bola yang hebat. Dia berlari cepat supaya aku tersengal. Bocah tengik itu sengaja mengerjaiku.

***

Akhirnya aku sampai di depan rumah mewah yang pilarnya besar, menjulang tinggi. Tak sempat aku mengomeli Rama, aku selalu terpana, menatap 'wah' rumah si kembar yang megah bak istana ini. Begitu pun dengan Rama yang selalu antusias tiap kali datang kemari. Memang sih rumah ini sangat mewah. Tapi rasanya sepi sekali.

Aku dan Rama seperti biasanya langsung memasuki halaman karena penjaga rumah ini sudah mengenal kami. Rama memencet bel rumah. Seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tak asing lagi membukakan pintu. Bude Laksmi dengan senyum khasnya menyambut kami berdua.

Kami berdua memasuki rumah mewah itu. Tidak ada yang berubah banyak seperti saat pertama kali aku memasuki rumah ini. Masih tertata dengan rapi barang-barang mewah itu di tempatnya. Lukisan, barang antik, dan foto keluarga mereka yang masih terpajang di dinding. Namun rumah ini terasa semakin sepi.

"Kebetulan kalian berdua kemari." Bude Laksmi mempersilahkan kami duduk.

"Ada apa bude?" Rama yang menjawab kali ini. Aku masih menatap rumah ini sejengkal demi sejengkal dengan lebih detail.

"Den basma sama den Gilang sedang tidak di rumah. Den basma masuk rumah sakit kemarin malam." kata Bude Laksmi sontak membuatku kaget.

Jantungku berdebar. Aku memandang Rama. Kami berdua tahu harus bergegas kemana.

***

Belalai panjang terlihat sedang melilit tubuh Basma. Di sampingnya terdapat alat untuk menngukur tanda vital, seperti denyut jantung dan tekanan darah. Kami tidak diperbolehkan untuk memasuki ruangan itu sebab di dalam masih ada gilang yang menemani Basma. Pengunjung dibatasi. Aku dan Rama yang masih berpakaian jogging menunggu di deretan bangku ruang tunggu.

Aku kasihan melihat Basma. Dia tidak didampingi oleh orang tuanya. Atau bahkan orang tuanya pun tidak mengetahui kalau anaknya sedang sakit. Ku rasa mereka tidak peduli.

"Neng, kok nangis?" Aku tidak sadar kalau air mataku menetes. Tidak sempat ku usap, Rama terlanjur melihatku menangis.

Tak ku jawab pertanyaannya. Rama mendadak ikut bersedih dan menggerutu sendiri. "Kasihan ya neng, bang basma. Kelihatannya dia hidupnya enak. Serba kecukupan. Mobil ada. Rumah segedong. Mau minta apa tinggal minta. Bimsalabim langsung ada di depan mata. Tapi kalau sakit kaya sekarang ya gak enak juga, apalagi sendirian gak ada orang tua. Orang tuanya sibuk cari duit terus." Rama menggerutu sendiri.

Sebatas SukaWhere stories live. Discover now