RACHELS POV
Aku terus mengikuti langkahnya, kemana pun pria itu pergi menyusuri rumahnya aku mengikutinya.
Sebenarnya, aku gengsi melakukan ini. Jika seharusnya para pria yang mengejarku, kenapa kini aku yang mengemis kepada seorang pria?!
Sialnya... waktuku tinggal tiga hari lagi.
Nerd ini cukup sulit untuk kugoda. Ia terlalu dingin, God... sepertinya aku menyerah.
Arnold membalikkan tubuhnya, seketika langkahku pun terhenti. Hampir saja wajahku menabrak dada bidangnya. Aku menatapnya seraya tersenyum polos. Ia tetap tak mengacuhkanku dan kembali melakukan aktivitasnya. Ia mendudukkan pantatnya di kursi dan menyantap sandwich di hadapannya. Dia dengan tega membiarkanku mematung menontonnya.
Aku mendesah pelan, barulah ia menoleh ke arahku.
"Duduklah!" perintahnya dengan wajah datar. Aku pun duduk di kursi kosong sebelahnya. Pandangan iris toscaku masih menatapnya, ia memiliki cara makan yang begitu anggun, kataku dalam hati.
"Arnold..., " desahku pada akhirnya. Ia mengusap mulutnya dengan serbet dan pada akhirnya menatapku dengan datar.
Ada rasa tak nyaman juga, ketika kaos miliknya bergesekan dengan kulitku. Aku juga merasakan sesuatu yang berbeda ketika celana pendek miliknya membungkus pantatku.
Tentang Arnold, menurutku dia bukanlah nerd yang cupu. Ia memang mengenakan kacamata, tapi ia bukanlah nerd lemah dengan wajah tol*lnya. Ia terlalu tampan untuk menjadi sosok itu. Mata cokelat dan bibir tebalnya, ugh... ya tuhan... tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku.
Mata cokelatnya menatapku di balik kacamata yang dikenakannya.
"Berapa lama kau akan menggigit bibir bawahmu?" sindirnya. Aku melepaskan gigitanku lalu berdehem dengan angkuh.
"Jadi, bagaimana dengan tawaranku?"
Ia mengalihkan pandangannya dariku, " Masih sama," tegasnya.
"Okay, aku menyerah..., " desahku. Ia tampak tersenyum tipis.
"Bagus kalau begitu," ujarnya tampak senang.
Hell. . . kuharap kau jangan senang dulu, Mr. Nerd.
"Aku menyerah memberimu cara keras, aku akan beralih pada cara terakhirku," ujarku menantang. Seketika senyum tipisnya memudar. Ia kembali menatapku dengan tajam.
"Apapun caramu, itu tak akan pernah mengubah keputusanku," ucapnya dengan dingin.
Aku menarik napasku perlahan. Okay Rachel. . . kau bisa melakukannya, dewi dalam batinku menyemangati.
"Arnold Ferdinant Wright... maukah kau berkencan denganku? Dan, menjadi pasangan dansa di acara Pensi kampus?"
Ia setengah menganga, "Kau bercanda?" Ia tertawa hambar, "kau sedang tidak melamarku, bukan?"
Aku memutar bola mataku dengan kesal, "Arnold, aku tak bercanda. Sekarang berikan aku jawabanmu!"
Ia tersenyum miring lalu mendekat ke arahku, hingga jarak wajah kami hanya beberapa senti. Hembusan nafas hangatnya terasa menggelitik di sekitar wajahku.
"Hm... jika aku menyetujuinya, apa jaminanmu?" bisiknya.
Aku menatap iris cokelatnya, "Maksudmu?" Keningku berkerut tak mengerti.
"Apa yang akan kau lakukan untukku Rachel, sebagai jaminannya," desaknya.
Jaminannya? Maksudnya imbalannya? Ragu-ragu aku menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl VS Nerd Boy
RomanceBad girl dan nerd. Itu berawal ketika Rachel, wanita yang dikejar banyak kaum lelaki menerima tantangan dari musuhnya sehingga rela berpacaran dengan si nerd boy, Arnold. Apakah Rachel sanggup melakukan tantangan tersebut?