Bab 5

454 8 0
                                    

Arnold mengecup bibir bawah dan atasku secara bergantian setelah ia melepaskan ciumannya. Aku merona ketika ia menatap mataku. Riuh tepuk tangan tampak meramaikan suasana. Aku mencoba melepaskan lingkaran tanganku di lehernya dengan gugup, namun ia kembali menarik tanganku agar tetap melingkar di lehernya. Aku pun hanya pasrah.

Di sisi lain, dapat kulihat dari sudut mataku bahwa Michelle menggeram tak terima. Dewi dalam batinku tersenyum puas.

Good. . . kau melakukan yang terbaik Rachel.

Aku kembali menatap ke arah Arnold yang tengah memperhatikanku. Aku benar-benar malu. Oh, God... kenapa aku mengucapkan kedua kata itu?

"Kau tampak bahagia, Rachel," bisiknya. Aku mendengus pelan, walau bagaimanapun aku harus menjaga imageku di depannya. Ia terkekeh pelan dan menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku.

"Aku tetap akan menjadi primadona di kampus ini," ucapku dengan senyum lebar.

"Bagaimana dengan tawaranku?" Ia memilih mengganti topik.

Senyumku memudar, "Apa?"

"Apakah kau mau menjadi kekasihku untuk jangka panjang? Pertambahan waktu maksudku." Rautnya tampak sangat berharap.

Aku menelan salivaku dengan ragu, semuanya memang terlalu cepat jika kami memutuskan untuk berpisah. Kami hanya bersama dalam beberapa hari, Michelle akan curiga jika mengetahui jarak kami yang menjauh.

"Entah, aku tak yakin. Kau tau, untuk hubungan semacam. . . yah...

kesengajaan itu sulit. Berbeda dengan yang normal." Aku tertawa hambar.

"Maksudmu, kau ingin kita menjadi pasangan yang normal?"

Aku menganga lalu menatapnya dengan ragu. "Bukan. . . maksudku, sebaiknya kita mengakhirinya saja. Okay. . . kau tau, aku telah mengatakannya tadi. Kau hanyalah bahan taruhan."

Ia mencoba menyunggingkan sebuah senyuman, "Baiklah... aku mengerti. Jadi kita bisa menjadi teman?"

Aku mengernyit, ini aneh...! Awalnya, ia memusuhiku. Dan kenapa sekarang ia begitu terasa mengusikku. Ia terlihat berharap aku tetap dengannya. Oh. . . apakah ini hanya perasaanku saja?

"Okay, hanya teman."

"Kapanpun kau membutuhkan bantuanku, aku ada di sana." Janjinya.

Aku tersenyum lebar, ia membalas senyumanku. Ia begitu tampan dengan senyum lebarnya. Aku tak ingin mempermainkan perasaan seseorang dengan permainan konyolku, tidak dengannya.

Kami berdansa kembali hingga acara prom night selesai. Suasana di antara kami terasa begitu berbeda, jika kami sering sedikit beraduargumen-dan ia tampak dengan wajah datar dan dinginnya-kini ia terlihat lebih lembut.

Di perjalanan pulang, aku hanya terdiam seraya menatap ke luar kaca mobil menatap indahnya kota Washington di malam hari. Arnold tampak tak membuka suara, hingga pada akhirnya aku mendengar gumamannya.

"Mau menepi?" tanyanya.

Aku menoleh, "Boleh...."

Aku cukup sering menepi di tengah jalan, atau di berbagai jembatan dengan temanku hanya untuk melihat kota di malam hari. Atau sekedar begadang jika aku malas pulang. Menghabiskan waktu satu malam ditemani sekaleng minuman yang menyegarkan.

Sepertinya malam ini aku akan menikmatinya.

Arnold memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Aku turun mengikuti langkahnya ketika ia keluar dari mobil. Ia melangkah entah mengambil apa dari bagasi mobilnya. Jalanan tampak sepi, hanya beberapa mobil yang melintas.

Bad Girl VS Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang