"Ehm..." Helena tampak salah tingkah dan tergagap, sedangkan Arnold. Ia semakin mempererat pelukannya di pinggangku. Aku memeluknya dengan erat berharap Helena tak dapat melihat tubuh polosku.
Sial, ini...
Ya, Tuhan... kenapa bisa? Tubuhku polos, dan kenapa gadis itu masih di sini? Apakah ia akan tetap menontonku dengan Arnold?
"Helena, bisakah kau pergi?" usir Arnold dengan lembut. Gadis itu tergagap, dapat kulihat mata cokelatnya memerah. Ia seperti akan menangis.
Helena mengangguk, "Maaf telah mengganggu," ujarnya lalu melangkah keluar. Arnold mengalihkan pandangannya padaku. Aku semakin menempelkan tubuhku padanya, aku tak ingin ia melihat tubuh polosku. Cukup hanya tadi, hanya tadi...
"Ra, bisakah kau sedikit menjauh."
Aku menggeleng, "Aku tak ingin kau melihat tubuhku lagi," gumamku.
"Aku akan menutup mataku."
"Bohong . . . "
"Aku janji, kalau begitu kau saja yang menutup mataku." Ia meraih telapak tanganku dan menyimpannya di matanya. Matanya tertutup. Lalu aku dengan sigap meraih bathrobe yang tergantung dan segera memakainya dengan sebelah tanganku.
Setelah selesai mengenakan bathrobe, aku menjauhkan telapak tanganku dari matanya. Ia membuka matanya dan menghela nafas, "Maaf. . .," gumamnya tampak menyesal. Aku berdecak sebal.
"Itu keterlaluan... " Aku melangkah menjauh.
"Aku tau." Ia menarik lenganku ketika aku hendak menarik handle pintu. "Jangan keluar, ayahku ada di sana."
"Memangnya kenapa?" Aku mengernyit heran.
"Ia tak akan menyukaimu." Ia mengusap wajahku, aku tersenyum kecut menanggapinya.
Aku tau, aku sadar diri akan siapa diriku. Aku hanya gadis berandalan, begitu jauh dengan sosok Helena pastinya. Ia tampak begitu sopan, hell. . . kenapa aku jadi merendahkan diriku seperti ini? Aku menggeleng. Dewi dalam batinku tampak tengah memberi semangat.
Kau cantik, Dear! Helena hanyalah jalang, kau harus bisa menyingkirkannya dari Arnold. Tampaknya, gadis itu menyukainya.
Sisi batinku mengelak, Dear! Memangnya kau siapa-nya? Kalian hanya berpacaran biasa. Tanpa kencan ingat? Tak semestinya kau menyingkirkan Helena.
"Kau benar..., "bisikku pelan. Aku melangkah menjauh darinya, ia mengekoriku dari belakang. Bibirnya tampak terbuka hendak mengucapkan sesuatu tapi aku memotongnya.
"Bisakah kau keluar?"
"Rac. . ."
"Kau bisa menemui ayahmu, aku akan tetap di sini sampai ayahmu pulang. Jangan khawatir." Aku tersenyum kecut. Ia tampak mengusap wajahnya dan melangkah keluar. Aku menatap punggung lebarnya dengan nanar.
Aku segera memakai pakaianku dan terduduk di lantai walk in closet. Mata toscaku menatap bayangan diriku di cermin. Aku menghela nafas.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar pintu walk in closet terbuka. Arnold menampakkan batang hidungnya, aku bangkit dan mendekatinya.
"Dia sudah pulang," gumamnya.
"Oh. . . " Aku hanya ber-oh-ria menanggapinya. Lalu aku melangkah keluar lebih dulu melewatinya. Aku meraih skripsi yang telah ia kerjakan tadi malam, memasukkannya ke dalam tasku, maksudku, tas baruku.
"Soal ucapanku tadi, jangan kau ambil hati." Ia membantuku memasukkan bukuku.
"Tak masalah, aku mengerti," gumamku pelan. Ia hanya terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl VS Nerd Boy
RomansBad girl dan nerd. Itu berawal ketika Rachel, wanita yang dikejar banyak kaum lelaki menerima tantangan dari musuhnya sehingga rela berpacaran dengan si nerd boy, Arnold. Apakah Rachel sanggup melakukan tantangan tersebut?