Hari Terakhir.
"Kemarin aku tidak bertemu Vio.." Batinku. Sekarang jam 6:30. Aku datang lebih awal gara-gara Anis. Dia menjemputku 10 menit lebih awal dari biasanya. Aku menatapnya tajam.
"Oh ya... Aku tidak bertemu Vio gara-gara Anis..." Batinku lagi. Anis mengeluarkan Nametagnya. Ia balas menatap.
"Aku bukan Vio lho.." Ucapnya spontan. Petir seperti menyambarku hidup-hidup. Aku menatap Anis merinding.
"Tau darimana-"
"Duh Sekar. Kita sudah berteman dari kelas 2 SD. Apa sih yang tidak kuketahui mengenai dirimu?"
Aku menggeram. "Dasar penyihir." Gumamku. Anis menyengir.
"Seharusnya kamu beritahu aku setelah acara MOS ini selesai!!" Seruku. Tepat saat itu, Vio tengah memasuki ruangan bersama temannya. Aku dan Anis menoleh. Rona merah di wajahku tak dapat kusembunyikan. Aku berlari keluar ruangan secepat kilat melewati Vio. Anis tak memanggil namaku, hanya diam menatap punggungku. Aku bersembunyi di kamar mandi. Nafasku masih tak beraturan sehabis berlari tadi. Aku menggigit bibir bawahku.
"Ukh.. Anis bodoh."
Belum lama setelahnya, Bel masuk telah berbunyi. Aku menghela nafas panjang. Dengan langkah berat, aku berjalan ke kelas dimana Anis tengah menunggu untuk menertawakan tingkahku.
Anis tengah duduk seorang diri. Ia sedang mengerjakan sesuatu. Buru-buru aku duduk tepat di sampingnya. Canggung.
"Hallo semuanya!" Seru kak Tara riang seraya memasuki kelas disusul kak Refky dan kak Puji.
"Tak terasa sudah hari terakhir kita bersama-sama. Ini kelas paling sepi yang pernah kakak bina." Goda Kak Refky. Niat awalnya memang untuk mengendurkan suasana, namun kelas malah semakin terasa hening.
"Heh Refky, ini kan anak-anak didik lu, urusin yang bener dong!" Seru Kak Tara.
"Berisik. Kerja lu apa selama bina bocah-bocah ini? Ga ada kontribusinya sama sekali!" Balas Kak Refky tegas. Kak Tara terdiam.
"Lu sendiri ga bener bimbing bocah-bocah ini. Mending gua pindah ke kelas lain aja, anak-anaknya ga ada yang sekaku kanebo kaya kelas ini." Cibir Kak Tara sembari keluar dari kelas tanpa rasa bersalah.
"Tara!" Seru Kak Puji.
"Berisik lu berdua! Gua mau keluar aja dari kelas ini." Seru Kak Tara sebelum menghilang dari pintu keluar. Suasana mencengkam menghiasi kelas kami.
"A.. Anis..." Bisikku pelan. Anis menatapku. Helaan nafas tipis terdengar samar-samar.
"Tuh, kalian denger ga? Ini semua tuh gara2 kalian! Kalian kenapa sih ga ada kekompakannya sama sekali?" Seru Kak Refky geram. Kak Puji menatapnya tajam.
"Eh, lo sendiri juga pembina disini. Jangan asal nyalahin orang. Kalo lo sendiri ga bisa dewasa, gimana lo bisa jadi contoh yang baik buat adek-adek lo?" Ucap Kak Puji tegas. Kak Refky duduk di kursi guru, menunduk. Suasananya semakin mencengkam.
"Kalau gitu, gua serahin masalah kelas ini sama lu ya." Ujar Kak Refky. Ia bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelas. Kak Puji tidak menatapnya. Ia duduk di kursi yang tadi diduduki Kak Refky.
"Maaf ya dek, sekarang kakak lagi kacau banget. Kalian yang rapih ya. Kakak mau tenangin diri dulu." Ujar Kak Puji sembari menutup wajahnya dengan tangan yang ditopang di atas meja. Tak ada seorang pun yang berani angkat bicara ataupun berusaha untuk menyemangati Kak Puji.
Andai aku punya banyak keberanian, mungkin aku akan menghibur Kak Puji. Mungkin juga, aku sudah menjadi salah satu dari tiga kandidat ketua kelas. Mau seberapa kuat aku berusaha mengesampingkan rasa takutku, dadaku malah semakin berpacu kencang dan berkeringat dingin tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
From That Day Onwards
RomanceHai, aku Sekar Pratama. Seorang gadis yang baru memasuki usia remaja, namun memiliki cerita yang mungkin tidak dimiliki kebanyakan orang. Orang bilang aku aneh, kuper, dan kaku. Tapi itu tidak berlaku untuk beberapa orang. Karena itu, aku akan berus...