4 - Siapa Sangka

10 2 0
                                    

Pukul 6:15.

Aku tiba di sekolah lebih awal untuk mencari kelasku lewat peta yang di berikan oleh kakak pembina saat mos hari terakhir. Kertas bertuliskan 10-3 terletak di pintu masuk. Kelas yang kucari.

"Ketemu." Batinku. Aku memasuki kelas itu. Beberapa kursi dan tempat yang kuinginkan telah terisi. "Duh, mereka ini." Batinku. Aku memutuskan untuk duduk dikursi dan posisi yang sama seperti saat mos.

"Pagi Sekar!" Sapa Vio ramah sambil berjalan bersama teman-temannya. Aku tersenyum sembari mengangguk. Ia menghentikan langkahnya dan mengatakan sesuatu pada teman-temannya. Mereka menyepakati sesuatu. Vio menghampiriku sementara teman-temannya berjalan keluar kelas.

"Loh, kamu ga sama mereka?" Tanyaku sedikit terkejut. Ia menggeleng.

"Sekar, nanti siang mau ke kantin bareng ga? Aku yang traktir."

.
.
.
.

Jam makan siang. 12:15

Aku menunggu Vio di kursi kantin bersama bekal dan minumanku. Kanan kiri ku sudah ku awasi. Keberadaannya tidak kutemui. Entah ada dimana dia sekarang.

.

Sedikit demi sedikit, ku teguk air dari botol minumku. Ku ayunkan kakiku. Aku masih menunggu. Terus menunggu.

.

Kerumunan siswa yang berada di kantin mulai berkurang. Sudah pukul 12:25. Aku membuka kotak bekalku. Sayur kangkung, telur dadar pedas, dan nasi ada di tempat yang terpisah.Aku tertegun melihatnya. Perutku pun juga ikut protes. Tapi, tekadku masih bulat. Aku masih menunggunya. Terus menunggu.

.

Pukul 12:40.

5 menit lagi, jam pelajaran selanjutnya akan dimulai. Terpaksa, aku menghabiskan kangkung dan nasi secepat yang kubisa. Makan buru-buru rasanya tidak nikmat. Aku hampir tersedak saking paniknya. Kubereskan bekas makanku dan memutuskan tuk kembali ke kelas.

.

Sesampainya di kelas, aku melihat Anis tengah ikut tertawa dengan kerumunan orang di bagian belakang kelas. Vio berada di antara kerumunan itu. Darahku mulai naik. Ingin sekali rasanya aku memaki dirinya. Namun, aku tak punya keberanian untuk menegurnya terlebih dahulu sebelum ia menyapaku. Anis berhenti tertawa. Ia mengalihkan pandangannya padaku.

"Oh, Sekar toh," Tegur Anis. Aku tak menghiraukannya sembari menghampiri kursi ku seolah tak terjadi apapun. Anis tak bergeming. Ia malah melanjutkan tawanya bersama teman-teman barunya. Pikiranku dipenuhi praduga dan sangkaan negatif yang aneh-aneh. Mulai dari dia membeciku, jijik padaku, sejenis itu. Ternyata, Anis pun juga sama. Dia tak ada bedanya.

"Kenapa? Padahal aku percaya Anis mengerti aku lebih baik dari orang lain. Tapi kenapa dia bersikap cuek begitu?" Batinku. Prasangka ku semakin memburuk saat mataku dan Vio bertabrakan sekilas.

"Oke, cukup sampai disini saja," Gumamku. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mulai menghampiri Anis. "Anis!" Teriakku. Seluruh kerumunannya terdiam, termasuk Anis dan Vio. "Kenapa kamu mendiami ku saat aku sedang sendirian?" Racauku. Vio menampakkan diri dari belakang Anis. Ia menunjuk dirinya sendiri.

"Um.. Mungkin kamu mau bicara padaku?" Tutur Vio hati-hati. Nafasku tertahan. Aku memberi isyarat agar Vio mengikutiku keluar kelas. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau ia tak merasa nyaman dengan tingkahku. Bahkan langkahnya pun terasa sekali beratnya saat kami keluar kelas.

"Sekar... Kamu marah ya gara-gara aku?" Ujarnya perlahan. Tangannya menyentuh bagian belakang lehernya. Matanya berkelana jauh agar tak bertatap dengan mataku.

"Memang kamu tau salahmu apa?" Balasku. Ia tertawa lirih.

"Sekar, tadi aku sibuk. Jadi ga bisa-"

"Kalau kamu sibuk, kenapa kamu harus ngajak aku makan bareng tadi pagi?" Potongku dengan gegabah. Pipi dan telingaku sedikit memerah. Rasa malu dan marah bercampur di dada. "Kamu tau ga aku nunggu kamu berapa lama padahal kita baru kenal?" Gumamku. Aku terdiam sesaat. Mata Vio mulai menatap diriku.

"Wah... Sekar.. Aku gak tau kamu itu tipe yang blak-blakan.." Celotehnya perlahan. Ia mulai tertawa pelan lagi. Aku menonjok lengannya dengan keras. Ia meringis kesakitan.

"Itu untukmu karena sudah membuatku kecewa."

.

Sore hari. Di rumah.

Matahari sudah mulai terlihat samar. Aku menatap ke langit warna jingga. Tanganku terasa dingin saat menyentuh pagar balkon besi ini. Sesekali kutatap ke bawah. Lalu lalang orang berjalan. Motor yang sesekali lewat. Rumah yang berjejer rapih beserta supermarket diantaranya. Tidak ada yang enak tuk dilihat.

"Sekar!" Seru Anis manja sembari berlari dari dalam rumahku ke arahku. Aku bergidik dan refleks menutup pintu. "Jahaat! Padahal aku mau main sama Sekar!" Ucapnya manja sembari menggedor-gedor pintu.

"Kalau mau masuk, jangan lakuin hal aneh-aneh." Aku menghela nafas panjang. "Aku sedang sibuk." Lanjutku. Anis mulai kalem. Aku membuka pintu secara perlahan. Tiba-tiba, Anis memelukku seperti tidak ada beban sama sekali. Tubuhku memanas.

"A-Anis!! A-aku kan sudah bilang jangan lakuin hal aneh-aneh!" Pekikku sembari mendorongnya sekuat tenaga. Anis merengut.

"Kok kamu gitu sih Sekar. Padahal dulu kita sering berpelukan kaya teletubies karena kamu sendiri yang penasaran gimana rasanya." Godanya manja. Wajahku semakin memanas.

"Tapi itu kan cerita lama! Sekarang kita sudah besar!" Seruku sedikit gugup. "Lagipula, aku sudah tidak seperti dulu lagi." Lanjutku. Saat mengatakannya, hatiku sedikit sakit. Entah apa penyebabnya. Anis berjalan menuju pagar balkon. Ia mengistirahatkan kepalanya di atas tangannya.

"Betul juga.. Sekar yang sekarang lebih membosankan dari yang dulu," Gumam Anis sembari menutup matanya. Aku mencubit hidungnya. Ia meringis kesakitan. "Dan lebih garang dari yang dulu." Lanjutnya sembari tertawa renyah. Aku memalingkan wajahku darinya.

"Kalau aku beritahu pun, kamu tak akan mengerti." Gumanku. Aku berjalan keluar dari balkon.

"Sekar," Panggil Anis. Aku menatapnya. Ia mengisyaratkan agar aku menemaninya di balkon. Aku berfikir sejenak kemudian bergabung dengannya. Tangannya mengelus rambutku dengan lembut. "Walaupun aku gak mengerti, setidaknya aku mau Sekar percaya kalau apapun yang terjadi, aku ga akan ninggalin Sekar sendirian," Ucapnya lembut sambil tersenyum.

Kata-kata tercekat di tenggorokanku, lagi. Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya mengangguk sambil menangis seperti anak kecil. Anis terkekeh pelan. "Sekar kalau seperti ini, seperti bukan Sekar." Godanya dengan kekehan khasnya. Aku menonjok lengannya dan melepas elusan tangannya.

"Berisik."

To Be Continued...
************************************

From That Day OnwardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang