5 - Tak Terduga

10 1 6
                                    

Hari ini penentuan jurusan.

Buku psikologi dan psikotes sudah kubaca berulang-ulang sampai hapal diluar kepala. Sekarang sudah jam pelajaran ke-4. Sampai saat ini, guru masih belum ada yang masuk kelas.

Sudah 2 minggu aku sekolah dan masih belum memiliki teman. Aku sudah berkonsultasi pada ibuku cara mendapat teman. Ia bilang aku harus lebih agresif dan berani memulai percakapan tanpa harus di sapa terlebih dahulu. Aku ingin sekali... Tapi... Sesuatu seperti menarikku untuk kembali.

Sedangkan Anis sudah memiliki banyak teman. Walau tak ada yang menggubris atau bercanda dengannya, aku tau kalau mereka sengaja seperti itu. Hal ini terbukti karena Anis ikut tertawa bersama mereka.

Hatiku masih bercampur aduk saat melihat Anis sejak hari itu. Akhir cerita, Anis menahan tawa saat ia melihatku mengeluarkan ingus di tengah tangisanku. Merasa malu, aku mencubit kemudian meninggalkannya di balkon rumahku. Kupikir Anis menjadi sedikit lebih dewasa. Ternyata, Anis tetaplah Anis.

Saat tengah membaca untuk yang kesekian kali nya, seseorang menggebrak mejaku yang sukses membuatku tersentak. Aku menatapnya dengan perasaan tak karuan.

"Kenapa?" Lirihku. Seorang gadis berkuncir kuda, bermata sedikit sipit, berhidung agak mancung dengan bibir tipis kemerahan menatapku tajam. Semua siswa di kelas mengalihkan perhatiannya padaku. Kutatap pakaiannya, dasi sekolah tak karuan, baju ketat di masukkan ke dalam rok, dan rok span abu-abu yang membentuk lekukan pinggulnya. Namun sweaternya menutupi bagian belakangnya. Ia tak sendirian. Ada 2 orang yang hampir mirip sepertinya berada di belakangnya. Kedua orang itu memasang tampang garang.Seperti bodyguard yang siap menghajar kalau aku macam-macam.

"Jadi lo ya yang godain Vio?!" Serunya. Aku menatapnya kebingungan, namun tak berkata apapun karena aku tau itu akan semakin memperburuk keadaan. "Diem aja, punya mulut ga lo?!" Pekiknya. Telunjuknya menyentuh dahiku sampai kepalaku terpental ke belakang. Dari gaya bicaranya, aku sudah tau kalau dia adalah kakak kelasku.

"Maaf kak, kayaknya kakak salah orang." Balasku cuek. Aku melanjutkan membaca tanpa menghiraukannya. Kakak ini menggeram. Ia mengambil bukuku dan melemparnya keluar kelas. Nafasku berhenti sesaat. Kutatap matanya tajam.

"Oh, udah mulai berani lo sama gua?" Cibirnya ketus. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mendekatinya.

"Denger ya, kak," Aku memperpendek jarakku dengannya. "Mau kakak anak presiden, lurah, kepala sekolah, atau pengusaha ternama sekali pun, selama aku gak salah, aku gak takut." Tegasku. Dia terdiam, tak dapat mengatakan apapun.

"Heh, dek," Salah seorang temannya mulai mendekatiku dengan tampang garangnya. "Lo jangan sok gitu deh. Jelas-jelas lo yang salah. Kok lo malah gitu sama kakak kelas? Berani mati lo?" Ia memegang lenganku sangat kuat. Tanganku terasa ngilu. Suasana kelas jadi suram.

"Kak, sebelumnya gua mau tanya," Aku melepas paksa genggaman tangannya. "Disini yang cari gara-gara duluan siapa, kalian atau gua?" Tegasku lagi. Mereka semua menggeram. Tiba-tiba, rasa panas dan sakit mendarat di pipiku. Temannya yang daritadi diam saja menamparku. Mukanya seperti orang yang tengah menahan sesuatu dalam hatinya.

"Disini yang cari gara-gara itu lo!" Geramnya. Ku pegang pipiku yang terasa panas. Belum puas, ia menjambak rambutku sekuat tenaga. "Gara-gara lo, Lia hampir bunuh diri tau gak?!" Ia mulai meracau tak karuan. Aku memberontak sembari meringis kesakitan. "Dan lo berani bilang kayak gitu? Punya nyali juga lo!" Isaknya. Ia melemparku ke lantai. Lututku terasa nyeri. Kepalaku berdenyut kencang.

"Sakit jiwa," Gumamku. Aku berusaha mengatur nafasku. "Kak, mending sebelum mendikte hidup orang, ada baiknya kakak dan temannya di periksa dulu ke RSJ terdekat," Ujarku sembari merapihkan rambutku.

From That Day OnwardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang