6 - Kau Harus Tau Satu Hal

10 0 0
                                    

6 minggu telah berlalu di kelas baruku.

Tak ada seorangpun berani menanyakan tentang labrakan kakak kelas itu. Mendekatiku pun juga tidak. Vio, si pusat masalah, pun juga begitu. Selama sebulan ini, ia sama sekali tak mau mendekatiku ataupun menyapaku seperti saat pertama bertemu. Semenjak aku membentak Anis, sampai sekarang ia sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Aku tak suka keadaan ini. Cepat atau lambat, aku harus segera memiliki teman agar tak selalu bergantung pada Anis ataupun ibuku.

.

Pelajaran ke-3, Seni Budaya.

Guru kami, Pak Tio, menyuruh kami membentuk kelompok permanen sampai uas nanti. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 orang, boleh campur. Semua orang sudah memiliki kelompoknya masing-masing. Tinggal aku yang belum dapat.

Aku menghampiri Pak Tio yang tengah menyortir nama anak-anak yang sudah menyetorkan nama kelompoknya. Ia menatapku dan berkata, "Kenapa?"

"Pak... Saya belum dapat kelompok." Ujarku sambil berusaha tersenyum manis. Pak Tio mengernyit kemudian membaca satu-persatu lembaran kelompok yang ada di tanganya.

"Oh, banyak yang kelebihan ternyata," Tuturnya. Ia menatapku sambil menaruh kertas di atas meja. "Kamu tau tidak, tujuan bapak menyuruh kalian membuat kelompok itu apa?" Aku menggeleng. Ia tersenyum. "Agar kalian tau, betapa susahnya mencari kelompok yang pas dengan diri kalian." Lanjutnya. Aku sedikit kesal mendengarnya namun tak ku tampakkan.

"Tapi pak, tidak ada kelompok yang tersisa.." Ujarku pelan. Aku dapat mendengar helaan nafas dari Pak Tio. Sesekali ia mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja.

"Kalau begitu, begini saja," Ia mencoret beberapa nama dari beberapa kertas dan menulisnya kembali di lembaran baru. Setelahnya, ia menulis namaku sebagai ketuanya. "Bagaimana, deal or not?" Tanyanya dengan logat inggris medok Jawa. Jantungku seperti di peras saat melihat namaku tertera sebagai ketua.

"Tapi pak..." Ucapanku terhenti. Kutatap wajah Pak Tio yang terlihat gatal dengan sanggahanku. Aku berdeham. "...Saya ini, tidak cocok memimpin." Lanjutku. Pak Tio berdecak berulang kali.

"Dengar ya, nak Sekar Pratama," Ia meletakkan pulpennya. "Kamu saja berani membela diri saat di labrak sama kakak kelas. Urusan memimpin pasti akan lebih mudah daripada aksimu itu." Tambahnya. Aku menghela nafas tipis. Bahkan ia mengetahui nama lengkap dan wajahku akibat dari gosip yang menjamur kemana-mana.

"Saranmu tadi bagus. Bapak akan memanggil nama-nama yang bapak coret sekarang juga." Pak Tio bangkit dari tempat duduknya.

"Makasih pak.." Balasku. Pak Tio tak menghiraukanku dan mulai meneriaki nama lengkap anak-anak yang ada di lembarnya tersebut. Satu-persatu, mereka mulai berkumpul. Saat semuanya telah berkumpul, beberapa dari mereka bergidik saat menatapku. Aku menundukkan kepalaku.

"Pak, kenapa kita di kumpulin disini?" Suara perempuan yang sedikit cempreng memecahkan keheningan. Pak Tio menjelaskan situasinya. Beberapa dari mereka mulai protes.

"Tapi pak, kita udah bentuk kelompok kita masing-masing." Protes seorang lelaki dengan suara agak nyaring. Pak Tio berusaha meredakan kepanikan mereka.

"Bapak tau, situasinya rumit. Nak Sekar tidak memiliki kelompok sama sekali. Kalian kan teman sekelasnya, tolong lebih mengerti dia ya," Tak ada yang berkomentar ataupun protes. "Nah, begitu dong. Sekarang, kalian diskusi kan ya drama apa yang akan kalian buat untuk akhir semester 2 nanti." Tutur Pak Tio sembari menggiring kami ke tempat kosong yang masih tersisa. Ia meninggalkan kami berenam. Tak ada yang berani memulai percakapan. Keheningan menghiasi kami diantara kebisingan kelompok lain.

"Oi, Sekar. Daritadi kok lo nunduk aja?" Pekik seorang perempuan yang tadi sempat protes. Aku menengadah, menatap wajah mereka satu persatu.

"Hai, Sekar," Vio, yang ternyata berada di sampingku, tersenyum kecut padaku. Dadaku berpacu kencang. "Kaget ya? Gua juga sama..." Ujarnya pelan. Aku memalingkan wajahku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From That Day OnwardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang