BAB VI

51 3 0
                                    

"Setelah menginjak kaki dan membangunkanku, kau langsung pergi begitu saja?"

Ino berbalik, menatap pria yang kini tengah melepaskan topi dari wajahnya.

Dia Aaron, Si Raja Monyet.

"Tanpa permintaan maaf? Sangat tidak sopan." Kata Aaron setelah berhasil berdiri.

Ia berjalan perlahan ke arah Ino. Sedangkan Ino tetap bergeming di tempatnya sembari menatap Aaron.

Setelah jarak di antara mereka tinggal satu langkah, Aaron kembali berkata, "Cepat katakan." Tidak ada nada memerintah yang terselip pada perkataannya.

"..."

"Kenapa kau selalu diam saja?"

"..."

"Apakah kau gugup jika berdekatan denganku?"

Pertanyaan terakhir pria di hadapannya ini terasa seperti bulu yang menyentil telinganya. Sangat menggelikan.

Ino mempertahankan poker face-nya. Melangkah maju ke depan, membuat jarak mereka tinggal satu jengkal. Lalu menengadahkan kepalanya ke arah Aaron.

"Pertama," ujar Ino seraya mengacungkan jari telunjuknya.

"Minta maaf katamu? Huh, aku tidak merasa telah melakukan kesalahan. Sebaliknya, itu terjadi karena kesalahanmu yang dengan seenaknya tidur menghalangi jalan di perpustakaan. Kedua," ia menambahkan jari tengahnya.

"Bukan urusanmu jika aku selalu diam. Apa salahnya menjadi pendiam? aku sangat menikmatinya. Lagi pula aku juga yang diam, kenapa kau yang harus repot?"

Terakhir," Ino sedikit mencondongkan tubuhnya. Meletakkan bibirnya tepat di depan telinga Aaron. Berbisik pada pria itu.

"Apakah aku gugup jika berdekatan denganmu?" Ino tertawa pelan.

"Tentu saja... tidak... sama sekali tidak. Maaf jika membuatmu kecewa."

Ingin sekali Ino membuang kata-kata seperti itu langsung ke wajah Aaron. Namun sayang, semua jawaban itu hanya akan dikeluarkan oleh Ino yang dulu. Ya, dulu. Ino yang sekarang tidak akan mau melakukannya. Tidak bisa melakukannya.

Hati dan otaknya sudah lama tidak mengijinkannya mengeluarkan sikap aslinya itu. Itulah mengapa sekarang ia hanya terdiam. Membalas Aaron dengan mengindahkan keinginan pria itu dengan satu kata.

"Maaf."

Lalu melenggang pergi tanpa melihat ke arah seniornya itu lagi.

Aaron menatap kepergian gadis itu dengan muram. Ia merasa prihatin. Dan tentu saja ia tahu kenapa rasa prihatin itu muncul.

Tanpa sadar bibirnya bergumam pelan. "Dingin sekali," dewa batin Aaron pun mengangguk setuju.

"Tentu saja dingin. Kau berdiri tepat di bawah pendingin ruangan, dude," ucap seseorang yang sekarang tengah berada di samping Aaron.

"Shinta tadi mencarimu. Dia menitipkan ini padaku." William berkata seraya menyerahkan sekotak makan siang.

Aaron menatap kotak makan itu dengan jengah. Sudah sering sekali wanita itu mengiriminya makan siang. Dan tidak satu pun yang ia makan.

Bukannya Aaron sombong atau tidak bersyukur bahkan tidak menghargai makanan. Karena jika sekali saja Aaron memakan makanan dari Shinta, wanita centil itu akan merasa kalau Aaron menyalakan lampu hijau, memberinya sebuah harapan.

"Kau ambil saja, Will. Aku tidak lapar," tolak Aaron.

William tidak terkejut, alih-alih tertawa mendengar penolakan Aaron.

I(no)SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang