Keesokan harinya Ino dikejutkan oleh sosok Shaila yang sedang menunggunya di depan gerbang utama kampus. Gadis itu sudah terlihat lebih sehat dan segar dibandingkan kemarin.
"Te-terima..kasih ya karena kamu sudah menolongku kemarin," ucap Shaila terbata.
Ino mengangguk sekali, menanggapi ucapan Shaila.
"Oh maaf. A-aku Shaila, kamu Celline, kan?"
Lagi-lagi Ino hanya mengangguk sebagai jawaban.
Shaila bingung harus bersikap seperti apa melihat Ino yang tak acuh. Tapi Shaila sudah bertekad untuk mendekati Ino dan menjadikan Ino temannya. Meskipun dia yakin kalau itu adalah hal yang tidak mudah.
Ino terus memandang Shaila, menunggu gadis itu melanjutkan atau mengakhiri pembicaraan mereka.
"Ehm.. baiklah Celline. Sekali lagi aku berterimakasih. Dan, ehm, dan," Shaila meremas-remas jemarinya. Ia benci karena gugup selalu melandanya di saat-saat seperti ini.
Sebenarnya Ino sudah mulai jengah menunggu apa yang akan Shaila katakan. Baru saja ia akan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Shaila, tapi kalimat yang sedetik kemudian diucapkan oleh lawan bicaranya itu membuatnya membeku seketika.
"Bolehkah aku menjadi temanmu?"
Ino menatap Shaila tak percaya. Namun ia tetap mempertahankan wajah datarnya, tanpa memperlihatkan perubahan emosinya kepada gadis itu.
"Teman?" tanya Ino.
"Iya teman," jawab Shaila dengan seulas senyum tulus.
"...."
"Aku tidak pernah punya teman Celline. Aku tidak tahu bagaimana rasanya punya teman. Aku tahu ini terdengar kekanak-kanakan. Tapi setelah kamu menolongku kemarin, aku benar-benar sangat senang dan ingin menjadikanmu temanku. Aku senang karena masih ada orang yang peduli denganku selain keluargaku. Karena itu, bolehkah aku menjadi temanmu?"
Ino mendengarkan setiap kata yang diucapkan Shaila. Ia sangat paham bagaimana rasanya tidak punya teman. Ia juga ingin punya teman, tapi apakah dirinya siap? Apakah dirinya mampu mengatasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi? Ia tidak mau hal yang terjadi di masa lalunya terulang kembali.
Ino menatap Shaila dengan perasaan bimbang. Gadis di depannya ini terlihat sangat bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya. Ino menutup mata sejenak seraya menghembuskan napas panjang. Baiklah, tidak ada salahnya mencoba untuk berteman bukan? Gumam Ino dalam hati.
"Oke Shaila, mari berteman."
Shaila yang mendengar persetujuan dari Ino masih terpaku di tempatnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Benarkah Ino tadi mengatakan mau menjadi temannya? Langsung mengiyakan permintaannya? Telinganya tidak salah dengar kan?
"Terimakasih, Celline," ucap Shaila setelah mendapatkan kesadarannya kembali. Ia ingin sekali memeluk teman barunya itu, tapi ia takut akan membuat Celline risih dengan sikapnya.
"Kau bisa memanggilku Ino, Shaila."
"Ino?"
Ino mengangguk.
Shaila tersenyum dan berkata, "Baiklah Ino. Ehm, mau masuk bersama?"
"Tentu," kali ini Ino menjawab. Dengan menyunggingkan senyuman walaupun samar.
***
Ino dan Shaila memutuskan untuk pergi ke kantin setelah Ino mendengar suara perut Shaila yang keroncongan. Setidaknya masih ada waktu empat puluh menit lagi sebelum Shaila memasuki kelas. Sedangkan Ino, kelas pertamanya akan dimulai pukul delapan pagi, sekitar satu jam lagi.
"Kamu mau makan apa Ino? Biar aku pesankan." tanya Shaila.
Ino menatap Shaila sesaat, lalu mengeluarkan kotak makan dan meletakkannya di atas meja.
Shaila tersenyum lalu berkata, "Baiklah, tunggu aku sebentar ya. Kita makan sama-sama."
"Ya," balas Ino.
Tak butuh waktu lama, Shaila sudah kembali dengan membawa nampan berisi sepiring nasi pecel dan 2 gelas teh hangat.
"Aku membelikanmu teh hangat. Tidak apa-apa, kan?"
Ino kembali mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu selalu bawa bekal sendiri, ya?" tanya Shaila setelah ia duduk di depan Ino.
"Kakakku, Kak Sandra yang membawakannya," jelas Ino. Ia membuka kotak makannya dan melihat gurame asam manis yang sangat menggugah selera. Kakaknya memang bisa diandalkan dalam hal makanan.
"Oh kamu punya kakak? Pasti enak ya punya kakak. Kalau aku anak tunggal. Jadi sering sendirian di rumah."
"Kau bisa ke rumahku kalau kau sedang sendirian. Atau aku yang akan ke rumahmu," kata Ino setelah menikmati sesendok makanannya.
"Benarkah?" tanya Shaila dengan binar mata yang sangat bahagia.
"Apanya yang benar?"
Ino dan Shaila saling bertatapan lalu menoleh ke sumber suara. Setelah tau siapa yang bersuara, mereka kembali menyantap makanan mereka dalam diam.
"Wow,"
"...."
"...."
"Hebat,"
"...."
"...."
"Kalian makan bersama, bahkan mengabaikanku bersama. Sshhhh unbelievable, " kata Laura sembari menatap kedua gadis di hadapannya secara bergantian.
"Sekarang kalian berteman?" tanya Laura.
"I-iya," ujar Shaila.
Sedangkan Ino hanya mengangguk mengiyakan.
"Bagaimana bisa?" tanya Laura masih tak percaya.
Ino melirik Laura sesaat, lalu kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Mendapat pengabaian dari Ino membuat Laura mengalihkan pandangannya ke Shaila. Menatap Shaila dengan mata yang ia sipitkan.
Shaila yang mendapat tatapan seperti itu dari Laura menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dan itu membuat Ino jengah.
Laura memutar bola matanya. "Fine. Aku tidak akan tanya apa-apa lagi."
"Eh bang, sini bang!" teriak Laura.
Abang tukang bakso yang merasa dipanggil pun menoleh, menghampiri meja Ino dan Shaila lalu meletakkan bakso pesanan Laura.
"Kenapa? Kalian tidak lihat sudah tidak ada meja yang kosong lagi di sini?" tanya Laura.
Memang benar, suasana kantin pagi ini sangat ramai.
"So, mau tidak mau aku duduk dengan kalian, " lanjutnya. Tanpa memedulikan Ino dan Shaila yang sedikit merasa terganggu dengan kehadirannya.
"Go on, lanjutkan pembicaraan kalian. Anggap saja aku tidak ada."
"...."
"Sepertinya aku harus ke kelas sekarang. Aku pergi dulu ya, Ino, ehm Laura," pamit Shaila.
Ino mengangguk sebagai jawaban.
Sedangkan Laura mengangkat kedua alisnya seraya berkata, "O..ke.."
Setelah kepergian Shaila, terjadi keheningan sesaat. Ino yang kembali sibuk dengan makanannya. Dan Laura yang sibuk memerhatikan Ino.
"Ehem, Ino,"
Ino mengangkat kepalanya menatap Laura. Menanti gadis dengan rambut sebahu itu berbicara.
Laura sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ino, kemudian berbisik sepelan mungkin, "Kau tidak bilang ke siapa-siapa kan tentang kakakku, Aaron?"
Belum sempat Ino menjawab, sosok lain sudah ikut duduk dan mencondongkan tubuhnya. Kemudian juga ikut berbisik sepelan mungkin. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
--0--
23/12/2016
KAMU SEDANG MEMBACA
I(no)Sense
RandomCelline Nowelia Hermawan. Seorang gadis yang ceria, hangat, dan pemberani. Namun itu dulu. Karena kesalahan pada masa lalunya, kini ia bertransformasi menjadi gadis yang pendiam, dingin, dan berwajah datar. Apakah hidupnya akan berjalan datar seter...