10. Therapy - Tahap Kedua

104 9 2
                                    


Sesampai di Rumah Sakit Kariadi. Pak Ari bergegas mendaftarkan Luna untuk terapi kembali, Luna masih memejamkan matanya dikursi ruang tunggu. Luna masih merasakan ngantuk karena semalam dia begadang dengan Papahnya.

"Sayang... yuk. Udah ke ruangannya sekarang." Ajak Pak Ari.

Luna masih terlelap dalam tidurnya. Memang sengaja Pak Ari mengajak Luna pada waktu sebelum jam enam pagi, selain Pak Ari bisa mengejar waktu untuk bekerja, juga bisa mendapat nomor pendaftaran yang tidak terlalu banyak.

"Dek.. ayok. Sekarang yuk ke ruangan yang kemarin."

"Aamm.. Papah. Nanti aja ya kesananya, ini juga masih sepi pah." Jawab Luna sambil memejamkan matanya.

"Ayolah dek, kan disana juga ada ruang tunggunya." Ajak Pak Ari.

Pak Ari sempat kewalahan, dan menunggu putrinya untuk menghilangkan rasa ngantuknya. Entah mengapa Pak Ari juga terasa terburu-buru, Pak Ari juga melihat sekelilingnya juga masih sepi dan belum banyak orang yang duduk diruang tempat duduk pendaftaran. Namun Pak Ari tetap mencoba membangunkan Luna.

"Adek...sayang, bangun yuk." Sambil mengelus kepala putrinya itu.

Setelah itu Pak Ari menggendong putrinya itu ke ruangan terapi yang sangat jauh dari tempat pendaftaran dengan melewati lorong yang setiap saat selalu sepi dan memiliki kesan yang seram dan menakutkan bagaikan Rumah Sakit dalam film horor pada umumnya.

Sesampainya tempat terapi. Pak Ari tertawa kecil melihat jam tangannya, karena tempat terapi mulai buka jam delapan pagi. Sedangkan saat ini masih jam setengah tujuh.

"Yaampuunnn.... aku ini kenapa sihh.. udah cepet-cepet. Engga taunya belum buka." Dalam hati Pak Ari.

Luna terbangun dari gendongan Papanya karena mendengar Papahnya yang tertawa sendiri.

"Papah... kok ketawa sendiri? Serem ih!. Terus kok pake gendong-gendong segala sih..." Protes Luna.

"Hahahha.... iya.. iya Papah turunin." Sambil menuruni Luna dari gendongannya.

"Sebelumnya. Duduk dulu yuk, disitu." Ajak Pak Ari.

Setelah itu mereka duduk kursi yang tidak terlalu jauh dari ruang terapi.

"Tadi itu udah cepet-cepet kesini dek, engga taunya belum buka." Kata Pak Ari.

"Emang bukanya jam berapa?." Tanya Luna.

"Jam delapan dek. Sedangkan sekarang masih jam setengah tujuh." Jawab Pak Ari.

"Papah, nihh aneh-aneh aja. Untung disini sepi, coba banyak orang disini malah tambah banyak yang ngetawain tingkah Papah. Meteka juga bisa takut sambil ngeliatin Papah ketawa gitu." Jawab Luna.

Luna dan Pak Ari mereka masih menertawakan kejadian yang sangat konyol. Entah kenapa terkadang Pak Ari suka terburu-buru bila ingin melakukan sesuatu. Mereka sangat menikmati hal-hal kecil yang dapat memberikan senyuman di wajah Luna maupun Pak Ari.

"Dek, ini kan masih jam setengah tujuh, sarapan dulu yuk.." Ajak Pak Ari.

"Ayok Pah. Perut adek juga udah krucuk-krucuk. Hehe.." jawab Luna sambil mengelus perutnya.

"Kamu ini... yaudah yuk."

Mereka kembali melewati lorong gelap dan sepi. Namun seelah merek tertawa dan menikmati cerita dari Papahnya. Luna tidak terlalu takut dengan suasana lorong dekat tempat terapi.
sepanjang jalan menuju luar Rumah Sakit banyak orang, banyak suster yang lewat dan memberikan sapa kepada Pak Ari.

Namun yang tidak membuat nyaman Luna dan Pak Ari adalah pandangan orang lain yang menunjukkan tatapan yang membuat Luna tidak nyaman, entah tatapan penasaran atau tatapan jijik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I'm Scoliosis's GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang