Chapter 2- THE MIND READER

10.1K 701 73
                                    

Ethan Ray

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ethan Ray


Lain seperti hari-hari biasanya, aku cukup yakin hari ini aku bakal terlambat. Dan kalau kalian tanya apa alasannya karena aku rebutan kamar mandi dengan papa atau terpeleset saat hendak masuk ke mobil, jawabannya salah. Ini semua berkat supirku tercinta, Pak Joni, telat masuk lantaran sibuk mengurus istrinya yang sedang hamil. 

Tapi tak hanya itu, aku pun harus rela membiarkan Pak Joni mengantar papa terlebih dahulu, sehingga akhirnya aku harus datang ke sekolah jam sembilan pagi. Itu bukan masalah buatku, karena aku bisa memakai alasan terlambat bangun gara-gara terlalu lelah setelah pertandingan judo (yang tentunya akan dimaklumi pihak sekolah berhubung mereka yang mendorongku sebagai perwakilan), yang setelah kupikir-pikir lagi bakal terdengar palsu karena aku bukan orang yang mudah lelah. Para guru mengetahui itu, jadi bisa dipastikan mereka bakal mencurigaiku dan tahu niat asliku.

Walaupun tergolong murid baru, sumbangsihku terhadap sekolah cukup besar, sehingga dalam waktu singkat, aku bisa dengan mudah menarik hati para guru dan mendapat segudang keuntungan (seperti bolos karena kompetisi dan sebagainya). 

Sampai di sekolah aku langsung menuju aula, karena menurut satpam, murid-murid sedang melakukan rapat akbar di sana. Javier tidak membalas pesanku, yang mengindikasikan kalau mereka memang sudah masuk. Sementara di kelas-kelas tertentu, murid tingkat akhir sedang menghadapi try out dengan wajah tegang seperti ingin menangis. Beberapa dari mereka bahkan sudah berpikiran untuk mengeluarkan kertas keramat yang sudah 48 jam mereka siapkan di kantong celana atau kemeja, bahkan beberapa menempelnya di kaki dan punggung temannya sendiri. Benar-benar khas anak SMA yang ngebet ingin lulus.

Aku mempercepat langkahku agar tidak terlambat. Di aula, murid-murid sudah membentuk lingkaran-lingkaran kecil, mungkin disuruh membuat kelompok. Pikiranku langsung tertuju pada teman-temanku : Carlo, Javier, Jay, Gris, Pierre, dan Ricco. Tapi di antara mereka, aku paling dekat dengan Javier dan Carlo. Berhubung kami memang sudah berteman sejak di baby stroller dan walaupun sempat terpisah sekolah namun masih satu kursus, orang-orang pertama yang akan kucari kalau aku sedang kebingungan di sekolah adalah mereka.

Sesuai dugaan, ternyata mereka cukup pintar dengan memilih untuk duduk di bangku terdepan, jadi aku tidak perlu repot-repot lagi harus berlari sampai ke deretan kursi paling belakang (karena menurut survey, bangku paling belakang adalah bangku yang paling diminati seluruh anak dengan predikat brutal di sekolah, hanya anak-anak setan yang berhak duduk di bangku paling belakang). Seperti yang kalian duga, aku bukan anak setan.

Setelah melihat wajah girang Javier dan wajah jutek Carlo, aku langsung menghampiri mereka. Ricco menyambutku, begitu pula Carlo. Pierre, salah seorang temanku yang berkacamata dan hobi main game sampai 18 jam penuh langsung menyuruhku bergabung dengan Carlo, Ricco, nenek lampir kesasar a.k.a Patricia, dan seorang cewek yang tak terlalu kuketahui sejarahnya yang bernama Sierra. Sebenarnya aku pernah mendengar namanya (Carlo menyebutnya berkali-kali, kalau tidak salah, dia mantan Carlo juga) hanya saja mungkin aku orang yang terlalu cuek sampai tidak pernah menyapa atau melihatnya.

TFV Tetralogy [1] : Cerveau Bang (2012)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang