"Kau berteriak dari tadi tapi tidak ada yang datang kan?"Lidah Lusie seakan membatu. Ia tidak mampu berkata-kata karena takut. Wajah orang itu persis di depannya dan Lusie sudah berfikir terlalu jauh tentang apa yang akan dilakukan orang itu.
"Naik" orang itu merendahkan tubuhnya tapi Lusie tetap diam.
"Hey aku capek jongkok seperti ini", orang itu mulai menggerutu. Lusie menggerakan kepalanya, melihat ke arah orang itu seperti melihat hantu.
"Apa yang kau lakukan?", Lusie akhirnya bersuara. Pria itu terlihat kesal.
"Aku ingin membantumu agar tidak dihukum karena terlambat. Tapi kau membuat kita semakin terlambat. Harusnya aku tidak membantumu, Miss Crybaby", orang itu benar-benar terlihat kesal.
"I'm not a crybaby! Apakah kau tidak tahu sekarang sering terjadi penculikan? Aku tidak mau itu terjadi padaku", jawab Lusie yang tak kalah kesal.
"Okay whatever girl. Aku akan masuk sendiri", orang itu terlihat siap untuk melompati tembok yang tidak terlalu tinggi itu.
"WAIT!", jerit Lusie. Orang itu melihat Lusie bingung.
"Aku mau masuk ke sekolah", lanjut Lusie pelan. Orang itu tertawa melihat Lusie. Lusie mendekati orang itu yang tidak jadi melompati tembok pembatas.
"You such a crybaby", gumam orang itu.***
"Lusie! Where have you been?!", Clare sangat cemas saat melihat Lusie. Well, Lusie tidak pernah melewatkan pelajaran apapun, sekalipun pelajaran Sejarah yang membosankan.
"Chill Clare. Aku terlambat.", ucap Lusie santai. Clare menatap Lusie bingung, bagaimana Lusie bisa setenang itu? Dia terlambat!
"Clare? Kita harus masuk kelas sekarang.", Clare tersadar dari pikirannya dan menutup loker dihadapannya.Tidak ada yang aneh di kelas Biologi hari ini namun Lusie Alvery tidak bisa berhenti memikirkan orang yang membantunya tadi. Tidak, Lusie tidak jatuh cinta, hanya saja penasaran.
***
Bel istirahat berbunyi, menandakan sudah waktunya Lusie latihan untuk seleksi. Lusie sudah bertekad untuk masuk orkestra dan tidak ada yang bisa menghancurkan tekadnya.
Kaki Lusie mulai melangkah ke teater. Selain kelas Musik, teater adalah tempat sebuah piano diletakkan. Lusie tidak mau berlatih di kelas Musik karena ia takut terlihat oleh orang lain apalagi senior. Teater adalah pilihan yang tepat menurut Lusie.Lusie membuka pintu backstage teater, tentu saja pinta utama terkunci karena teater bukanlah ruangan untuk bermain. Lusie melangkah dengan riang karena merasa aman, tidak ada orang lain selain dirinya.
Ia meletakkan partitur di hadapannya dan mengatur tempat duduknya agar nyaman. Lusie pun memulai latihannya."Waldstein, huh?", Lusie yang sedang hanyut dalam alunan melodi mendadak berhenti saat mendengar suara itu. Suara itu mendekat dan mengambil partitur di hadapan Lusie.
"Well, kau cukup hebat, kau tahu lagu ini sul-- wait, kau?!", orang itu tersentak kaget saat melihat Lusie. Lusie pun memberanikan diri melihat wajah orang yang telah menganggu latihannya.
"Oh my, mengapa harus dia?", batin Lusie dalam hati."Well, aku tidak tahu kau bermain piano", kata orang itu.
"Well, kita baru bertemu pagi tadi."
"Well, aku tidak keberatan jika tadi pagi kau memberitahuku"
"Well, apa untungnya bagiku memberitahumu?"
"Well, mungkin tidak ada tapi rugi bagiku karena aku yang memiliki teater ini setiap istirahat"
"Orang ini benar-benar menganggu", Lusie mulai kesal dengan orang itu.
"Baiklah, aku pergi", Lusie membereskan partiturnya, ia tidak mau berargumen dengan orang itu.
"Ayolah, aku hanya bercanda. Kau bisa menggunakan piano ini.", orang itu terlihat merasa bersalah. Lusie diam dan tidak menjawab orang itu. Tangannya berhenti membereskan partitur, Lusie berniat untuk memulai latihannya lagi.
"Tidak usah pedulikan orang itu Lu", batin Lusie lagi.
Lusie mulai memainkan piano itu. Orang itu diam tidak menganggu, entah karena kagum atau karena kesal.Lusie berhenti sebentar merenggangkan tangannya. Tangannya terasa pegal, padahal ia baru memainkan setengah lagu.
"Aku Andrews. Dengan S."
"Aku tak peduli"
"Setidaknya kau bisa memberitahuku namamu", Andrews berjalan mendekat. Lusie hanya diam, ia ragu menjawab orang itu.
"Lusie"
"Baiklah Lusie, kupikir sudah waktuku untuk latihan", Lusie langsung berdiri dan merapikan partiturnya. Andrews duduk dan mulai memainkan melodi-melodi sedih. Lusie yang awalnya ingin keluar, terhenti saat mendengar lagu sedih itu.
"Chopin huh?" gumam Lusie.
•••
P.S
For you who curious about the songs
> Waldstein (Beethoven)
> Prelude in E minor (Op. 28 No. 4) (Chopin)

STAI LEGGENDO
Immortal Soul
FantasiaSemuanya terasa, berbeda. Mimpi-mimpiku seakan pernah nyata, ada bayangan-bayangan di ujung mataku, suara aneh (yang kadang mengerikan) di pikiranku, awan-awan membentuk tulisan aneh yang kumengerti, bahkan aku merasa asing dengan orangtuaku. Ada ya...