1 - Tears

320 62 5
                                    

"Kat, aku masuk ya?"

Terdengar ketukan di pintuku. Aku tidak menjawab. Tak lama, pintu dibuka dan kepala Miley tersembul dari balik pintu. Aku membenamkan kepalaku semakin dalam di bawah selimut tebalku.

"Hey! Bangun, Kat. Ini sudah jam sebe--" ujarnya tertahan saat menyibakkan selimut putihku.

"Astaga, kau kenapa lagi?" tanyanya, lalu duduk di sampingku.

Aku membalikkan badanku memunggunginya. Mataku sudah bengkak karena menangis semalaman, dan sebentar lagi seluruh dunia akan tahu.

"Semuanya berakhir. Sudah, cukup." kataku pelan, menjawab rasa ingin tahu Miley.

"Oh my god, bukannya kalian baik - baik saja? Kenapa tiba - tiba? Ada apa?" tanyanya.

Rupanya aku salah karena menjawabnya. Keingintahuannya semakin menjadi - jadi saja.

"Bahkan bukannya kemarin kalian baru liburan ke Norfolk?" tanyanya lagi.

Aku menutupi kepalaku dengan bantal, aku tidak sedang ingin bicara dengan siapa - siapa hari ini. Aku hanya menggelengkan kepalaku, tanda aku tidak senang dengan liburanku ke Norfolk kemarin.

"Kenapa, Kat?" Miley bertanya lagi.

Aku membalikkan badanku dengan kesal.

"Aku tidak senang dengan liburanku ke Norfolk kemarin. Alasannya, ya, mungkin cowok itu hanya memanfaatkanku, di saat aku percaya padanya." jawabku cepat. Mataku mulai terasa panas lagi setiap kali aku membicarakan hal itu.

"Oh ya ampun, kau dan Max terlihat cocok. Padahal kukira kalian akan terus bertahan." kata Miley. Tatapan matanya menunjukkan kalau ia tak percaya pada apa yang terjadi dengan aku dan Max.

"Si gila itu benar-benar gila sekarang karena melepaskanmu yang sudah sebaik itu padanya." kata Miley lagi.

"Ya, tapi itulah yang terjadi." ujarku. "Dan sekarang, seluruh dunia akan tahu." air mataku menetes ke seprai.

Miley langsung meraih tisu yang ada di meja rias, dan memberikannya padaku untuk mengelap tangisku.

"Tenanglah, aku tahu beratnya menjadi dirimu. Di mana apapun yang kau lakukan, seluruh dunia akan tahu. Setidaknya bukan seluruh dunia, tapi seluruh sudut Graburg." kata Miley.

"Itu tidak sedikit, Miley." ujarku.

Graburg adalah sebuah negara kecil yang menggunakan sistem pemerintahan kerajaan. Dan sebenarnya aku beruntung, menjadi seorang puteri dari Prince Lucas Robert Johnson dan Meghan Klein.

Namun, kalau kau menjadi aku, kau akan merasakan bagaimana rasanya ingin punya kehidupan yang normal - normal saja, dan semua orang berharap menjadi seorang puteri kerajaan sepertiku.

"Tapi bersyukurlah, Kat. Rasanya keren tahu dipanggil dengan sebutan 'princess'. Princess Katharine Eloise Johnson." kata Miley sambil membungkuk dengan hormat di depanku, lalu bergaya - gaya di depan cermin meja rias.

"Hentikan." ujarku dengan segera. "Aku sedang tidak ingin tertawa hari ini, Milena Adams."

Aku hanya akan menggunakan nama lengkap Miley bila sedang benar - benar kesal. Miley langsung menghentikan tingkahnya.

"Ayolah, Kat. Jangan kesal begitu, dong." katanya. Miley langsung duduk kembali di sebelahku.

Setelah merujuk beberapa lama, akhirnya aku menyerah. "Ya, ya, baiklah." ujarku sambil bangun dan duduk.

"Nah, begitu dong. Masih ada berjuta - juta cowok di luar sana, dan siapa yang tidak mau denganmu, Kat?" ujar Miley.

Aku beranjak ke kamar mandi dan mengambil handuk, lalu segera mandi. Miley menunggu di kamarku sambil memainkan ponselnya.

Memang benar, cowok tak hanya satu, tak hanya Max. Aku menangis sejadi - jadinya di bawah siraman air dari shower. Max dan aku sudah bersama - sama selama setahun lebih tiga bulan. Bagaimana mungkin aku melupakan kenangan - kenangan kami selama itu?

Dan tak hanya itu, media pasti akan langsung mengendus masalah diantara kami dan Daily Post, koran terbesar pasti akan meliputnya dengan berlebihan. Miley benar, tak mudah menjadi aku, tapi aku harus tetap bertahan dan membiasakan diri.

"Kat, aku sudah memilihkan bajumu!" terdengar teriakan Miley dari luar kamar mandi.

Aku segera menghapus air mataku dan menjawabnya.

"Ya, sebentar!" teriakku. Aku tak ingin Miley ikut bersedih hanya karena aku.

"Top biru pastel kesukaanmu dan jeans putih selutut. Sempurna." kata Miley. Baju dan celana jeans yang dipilihkannya disusunnya dengan rapi di atas tempat tidur.

"Oh ya, tambahkan ini." katanya lagi. Miley mengeluarkan sehelai outer putih berenda dari lemari bajuku.

"Thanks." jawabku singkat. Aku mengambil semuanya dan memakainya di kamar mandi.

Setelah memakai semuanya, aku menyisiri rambut coklat kemerahanku dengan rapi. Setidaknya aku harus terlihat rapi setiap hari karena banyak orang yang datang ke kerajaan setiap harinya, dan banyak hal - hal tak terduga, seperti harus menemani ibuku menerima tamu, dan sebagainya.

"Aku tak mau berada di kerajaan hari ini, Miley." ujarku sambil berkaca.

"Kita keluar saja, tapi tentu saja tanpa sepengetahuan ibuku, ayahku, dan bahkan Breanna."

Breanna Lilly Johnson adalah adikku yang baru berumur sepuluh tahun. Umurnya memang sangat jauh denganku yang sudah berumur dua puluh dua tahun.

"Ya sudah, kita mau ke mana?" tanya Miley dengan bersemangat.

Aku mengangkat bahuku. "Kau saja yang pilih." ujarku.

"Ok, aku pilih Frosty!" jawab Miley dengan senang.

"Ke sana lagi?" tanyaku tidak percaya. "Rasanya sudah tiga kali kita ke sana minggu ini. Dan waktu terakhir kali kita ke sana seseorang mengenaliku, Miley."

"Tadi kau kan yang menyuruh aku memilih." kata Miley memaksa.

"Ya, ok, ok. Tapi sebaiknya kita berjalan cepat - cepat hari ini." jawabku.

Setelah menutup kembali kamarku dan memastikan tidak ada siapa - siapa di sekitar situ, aku berjalan memimpin, melewati lorong yang paling sepi.

"Kat?" suara Breanna memecah keheningan dengan tiba - tiba.

"Uh-oh." bisikku dengan kesal pada Miley.

Aku membalikkan badanku, dan Breanna berdiri sekitar satu meter di belakangku. "Ya?"

Please, please, please, jangan katakan seseorang memanggilku, pikirku.

"Polly ada di kamarmu?" tanyanya.

Aku menghela nafas lega. "Tidak." jawabku.

"Oh, kukira dia bersamamu. Aku tidak menemukan Polly di mana-mana hari ini, dan-"

Aku dan Miley serempak berjalan mundur ke tikungan lorong. Menunggu Breanna bicara hanya akan membuat masalahnya semakin panjang. Dia bisa saja minta kami ikut mencari Polly, anjing pudel hitam itu.

"Mungkin dia ada di kantor Mom. See you!" kataku dengan cepat, sebelum kami berbelok ke tikungan.

Untungnya di lorong selanjutnya tak ada siapa - siapa. Seharusnya aku tak boleh keluar tanpa seizin Mom atau Dad. Dan sulit sekali meminta izin mereka untuk bepergian sendiri saja, karena paling tidak aku harus didampingi pelayan atau penjaga karena aku seorang puteri, dan hal itu hanya akan membuat kami terlihat mencolok di muka umum.

"Nah, ini sulit. Gerbang selalu dijaga oleh beberapa orang penjaga. Sekarang, bagaimana?" tanyaku pada Miley. Pintu keluar ke taman sudah berada tepat di depan kami.

Miley mengangkat bahu, sama - sama bingung. Miley membuka pintu sedikit dan mengintip ke luar.

"Bodoh, itu mudah saja." Miley menarik tanganku dan menunjuk sebuah mobil berwarna putih yang terparkir di halaman.

"Aku lupa tadi aku kemari dengan mobil. Kau naik di jok belakang, tapi jangan sampai kelihatan dari luar." katanya lagi.

Royal HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang