Bab 12

2.6K 183 2
                                    

Hari yang selalu ditunggu-tunggu Rama setiap Minggu tiba. Sabtu sore, saat mereka berkumpul bersama teman-temannya. Kali ini Rama memberanikan diri untuk menjemput Vika. Perlu menunggu hingga 10 menit untuk Rama hanya untuk menekan bel pintu rumah Vika. Sampai akhirnya, pembantu rumah Vika datang yang datang entah dari mana, mempersilahkan Rama masuk. Ternyata Vika ada dikamarnya. Tampilannya kacau. Rambutnya yang hitam awut-awutan.

"Vik, lu kenapa?" Rama memberanikan diri mengelus kepala Vika. Ia ingin memeluk tubuh Vika. Vika bangkit, wajahnya sembab karena menangis. Ia melipat kakinya dan memeluknya. Rama mencoba mendongakkan wajah Vika dan menghapus air matanya.

"Gue kesel Ram, gue kesel!" Rama kembali mengelus kepala Vika. Apapun masalnya, Rama mau mendengarkannya. Tetapi, jika ditanya sekarang, pasti Vika tambah sedih.

"Gue berantem sama Arka! Dia egois! Ketahuan egoisnya dia! Gue tahu gue ngga sesempurna mantannya, tapi..." air mata Vika kembali tumpah. Arka? Siapa? Terus kenapa sama mantannya Arka? Terus kenapa Vika nangis karena dia? Kepala Rama penuh dengan pertanyaan.

"Arka, siapa, Vik?" tanya Rama hati-hati.

"Tunangan gue! Dia 'main-main' sama mantan dia! Di rumahnya!" Vika memukul-mukul lengan Rama lemah. Bagai petir disiang bolong. Vika? Punya tunangan? Kapan? Pasti Bisma dan Ruby tahu. Tapi, mengapa hanya Rama yang tidak mengetahuinya?

Vika masih menangis dan memukuli lengannya. Tangisnya makin keras. Seketika, Rama memeluk Vika dan mengecup puncak kepalanya. Mengelus punggungnya, dan menenangkannya.

"Cewek itu nyium bibirya Arka sambil meluk dia, Ram! Di sofa, depan mata gue sendiri! Abis itu pasti ada apa-apanya! Gue kesel, Ram! Kenapa sih? Kenapa harus terjadi sama gue?" Rama mengencangkan pelukannya. T-shirtnya sudah terasa basah karena air mata Vika. Timbul rasa marah dan ingin menghajar pria bernama Arka tersebut.

Waktu terus berputar, ternyata sudah pukul 9 malam. Sudah hampir 4 jam Rama menemani Vika. Melihat Vika yang tertidur dengan mata sembab, hatinya makin sakit. Rama benar-benar ingin menghajar si Arka sialan itu. Di samping tempat tidur Vika, Rama mengelus pipi Vika, dan tanpa bisa mengontrol tubuhnya, ia mengecup pipi Vika, dan saat ia akan mengecup bibir Vika, seketika ia terhenti. Ia tidak punya waktu banyak.

Ia menelpon Bisma dan Ruby untuk bertemu. Mereka memilih rumah Ruby karena rumah Ruby dan Bisma masih satu wilayah. Saat Bisma sampai, ternyata sudah ada Rama yang wajahnya penuh dengan kemarahan. Tanpa menunggu Bisma duduk, Rama langsung melontarkan seribu pertanyaan.

"Kalian udah tahu kalau Vika udah tunangan?" Hening. Bisma berdiri membeku.

"Siapa aja yang udah tahu kalau Vika udah punya tunangan?" Ruby tidak berani menatap Rama. Ia sudah sangat marah.

"Jawab, Ma!" Rama mengguncang-guncangkan tubuh Bisma. Ruby ketakutan, ia tidak pernah melihat Rama marah.

"Cuman lu yang nggak tahu. Kita semua binggung karena kita tahu lu suka sama Vika. Tapi..."

"Tapi apa?! Kalian udah nyakitin gue! Ngasih harapan yang nggak bakal terjadi!"

"Tapi lu juga dulu ngelakuin hal yang sama ke Vika, Ram! Dan kita juga diam." Ruby memberanikan diri angkat bicara. Mati kutu.

"Gue tadi kerumah Vika untuk jemput dia main sama Pasukan Bodrex." Rama mulai tenang. Ia duduk kembali di bangku beranda rumah Ruby.

"Saat gue masuk, ternyata Vika kacau banget. Dia liat tunangannya ciuman sama mantannya dirumahnya."

Ruby dan Bisma terkejut. Mereka cukup mengenal Arka, dan dia bukan tipe pria seperti itu. Apalagi Rubi dan Bisma tahu bahwa Vika dan Arka sudah bertunangan.

"Gue harus nyamperin si Arka itu!" Emosi Rama kembali memuncak, namun mampu ditahan oleh Bisma.

"Sabar, Ram! Kita nggak bisa gegabah main asal menghakimi orang lain. Apalagi ini masalah pribadi mereka."

"Walaupun Vika teman kita, dan sedalam apapun perasaan lu ke Vika, kita tetap tidak bisa ikut campur dalam msalah ini." Emosi Rama makin memuncak. Ia mendorong Bisma, dan berjalan menuju mobilnya. Beberapa kali Bisma mencegah Rama, yang ada dia malah mendapat bogem mentah dari Rama.

"Gue nggak peduli! Siapapun yang nyakitin Vika, nggak bisa dibiarin!" Rama menstarter mobilnya, walaupun sudah diketuk-ketuk oleh Bisma dan Ruby, Rama tetap menancapkan gas mobilnya. Mobil Rama membelah jalan malam tanpa arah. Bodoh! Rama kan tidak kenal Arka. Yang bagaimana orangnya juga, Rama tidak tahu. Bagaimana dia mau menghajar Arka.

Tanpa tahu arah, Rama mengelilingi kota, lalu tanpa sadar, ia membawa mobilnya ke Puncak. Ia memandang lampu-lampu dibawah. Bagaimana dia bisa berlaku bodoh seperti ini.

Ia mencari kontak Iksan dan menelponnya. Dengan setengah sadar, Iksan menerima panggilan dari bocah kantornya. Rama menceritakan semuanya. Iksan hanya diam saja. Sebenarnya, Iksan ingin meninju muka Rama, dan menggetok kepalanya pakai apa saja agar bocah itu kembali sadar dengan apa yang dia lakukan sore itu.

"Makanya, udah gue bilang kan. Coba lu dengerin gue, deketin, jadi lu tahu deh dia udah punya peliharaan atau belom."

"Kalau dia putus, gue mau langsung deketin dia, San!"

"Yakin? Emang berani?"

"I have to. No time left, San!"

Setelah menelpon Iksan, Rama langsung melaju mobilnya ke rumah Vika. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Kali ini Vika sedang menatap televisi di kamarnya. Wajah Rama dan Vika sama-sama kusut.

"Ram? Lu kayak belum mandi deh! Kusut banget mukanya..." Memang. Jawabnya dalam hati.

"Tapi masih ganteng kok!" Vika tertawa parau.

"Vik, ganti baju gih! Gue mau ngajak lu ke suatu tempat."

"Kemana?"

"Udah, ganti aja! BTW, gue pinjem kamar mandi bawah ya!"

Haloooooooo!

Udah gak kerasa udah bab segini aja, huhuhu! Gimana ceritanya? Jangan lupa vote dan commentnya yaaaa!
Jangan lupa juga dibaca blogiarynya! Heheheh

Merci!

Saturday Afternoon CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang