"Kamu buang-buang waktu aja deh." Suara gerutuan seorang gadis membuat Gio tertegun. Gio tahu betul itu bukan suara gadis itu, tapi ia tetap menoleh untuk memastikan. Gio sendiri bingung. Apa yang harus ia pastikan? Jelas-jelas itu bukan suara gadis itu, meski suaranya mirip sekalipun, sudah pasti bukan gadis itu. Atau mungkin saja ia hanya sekedar memastikan bahwa gadis yang menggerutu barusan memang bukanlah gadis yang ada di pikirannya.
Gio menatap kosong pada seorang gadis yang sedang berjalan dengan langkah cepat-cepat. Seorang lelaki muda mengikutinya dari belakang sambil berusaha menggapai lengan gadis itu, tapi gadis itu menepisnya. Lelaki muda itu tidak menyerah, dia tetap mengejar gadis di depannya dan tetap berusaha menggapai lengan gadis itu, hingga ia bisa menghentikannya dan mencoba menjelaskan sesuatu pada gadis itu. Gio tidak tertarik lagi, dia berbalik dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju mobilnya yang masih terparkir di area parkir sebuah mall.
Gio melirik jam tangan di tangan kirinya yang sedang memegang setir mobil, masih jam delapan. Gio tidak ingin buru-buru sampai rumah. Dia mengemudikan mobilnya dengan santai di jalanan yang lumayan padat. Ingatannya kembali melayang pada kejadian barusan. Seandainya... seandainya saja 10 tahun lalu dia melakukan hal yang sama. Seandainya 10 tahun yang lalu ia mengejar gadis itu. Seandainya ia tidak terlambat mengenali perasaannya. Seandainya ia masih sempat minta maaf. Mungkinkah kini ia bisa hidup tenang dan bahagia? Sudah 10 tahun, tapi ia belum bisa melupakan gadis itu. Rasa bersalah yang menghantuinya selama 10 tahun ini membuatnya tidak bisa membuka hati pada wanita mana pun, bahkan pada Mira sekalipun.
Gio tidak tahu bagaimana kabar Mira kini. Yang ia tahu, Mira sudah menikah 3 tahun lalu. Gio tidak tahu apakah kini Mira bahagia atau tidak. Ia hanya tahu bahwa Mira pun masih merasa bersalah, meski rasa bersalah Gio jauh lebih besar dibandingkan Mira. Gio bisa melihatnya ketika ia diundang di acara pernikahan Mira. Setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi.
Tidak biasanya Gio bangun pagi di hari Minggu. Tapi karena sepotong kalimat yang ia dengar semalam, ia jadi kembali memikirkan gadis itu. Gio ingin menemuinya meski hatinya masih sakit tiap kali ia mengingat gadis itu. Gio meregangkan otot-ototnya sambil berjalan keluar kamar. Ia berjalan ke halaman depan rumahnya. Dengan mata sedikit memicing karena baru bangun tidur, Gio menatap satu-satunya pohon di halaman rumahnya. Ia tidak peduli pada tanaman perdu yang bunga-bunganya sedang mekar dengan cantik di taman rumahnya, lebih cantik dari bunga yang sedang mekar di pohon itu. Gio mengambil gunting rumput lalu memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi itu. Ia memotong beberapa tangkai bunga berwarna ungu yang tumbuh di ujung-ujung pohon tersebut.
"Bik Inah!" seru Gio dari halaman rumahnya. Bik Inah, pembantunya, berjalan dari arah dapur dan berpapasan dengan Gio di ruang tamu.
"Tolong ya, Bik!" ucap Gio halus sambil menyodorkan beberapa tangkai bunga yang baru saja ia potong. Bik Inah hanya mengangguk sambil tersenyum, sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Bila Gio sudah memotong bunga itu, artinya ia harus merangkai bunga tersebut. Biasanya ia hanya mengikat bunga-bunga tersebut dengan pita lebar warna putih.
Gio sudah siap dengan kaos hitam, celana jeans hitam, serta sepatu kets yang juga berwarna hitam. Begitu melewati ruang tamu, Gio segera menyambar bunga yang sudah dirangkai Bik Inah dan diletakkan di atas meja, seperti biasanya. Gio mulai melaju dengan mobilnya yang membawanya bersama bunga kesukaan gadis itu, bunga bungur.
Jalanan masih basah ketika Gio menginjakkan kakinya di atas aspal tempat ia memarkir mobilnya. Gerimis yang menemani perjalanannya tadi membuat pagi itu lebih sejuk dan segar. Masih ada rintik-rintik air yang turun dari langit ketika Gio berjalan ke arah sebuah pemakaman, membuat bunga yang ia bawa terlihat semakin cantik karena butiran-butiran air pada daun, tangkai, dan mahkota bunga tersebut.
Gio menghentikan langkahnya di samping sebuah makam. Pandangan matanya sayu menatap batu nisan yang terbuat dari marmer hitam. Gio berjongkok, mengusap batu nisan tersebut dengan telapak tangannya untuk membersihkannya dari daun-daun kering. Gio meletakkan bunga yang ia bawa di atas gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput hijau yang subur. Makam itu tertata dan terawat dengan baik, tentu saja Gio tahu siapa yang melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNISHMENT
RomanceCara terbaik untuk menghukum seseorang adalah dengan memberinya rasa bersalah seumur hidup.