Extra 3: Avoiding

3.2K 106 3
                                    

"Kita perlu latihan," ujar Kano santai, memecah keheningan dalam perjalanan mereka kembali dari taman bermain. Hana cuma mengernyit bingung sambil menoleh ke arah suaminya.

"Katanya mau ngelakuin 'itu', ya kita mulai dari dasar dulu." Kano mencoba menjelaskan kejadian yang baru mereka alami di taman bermain tadi. Hana hanya ber-ooh sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Jadi gimana menurutmu?" tanya Kano kemudian.

"Apanya?" Hana bertanya balik dengan wajah polos.

"Ciuman tadi!" Kano mulai gemas.

"Ooh... emm... rasanya lumayan," jawab Hana sambil mengingat-ingat ciuman pertamanya dengan Kano, tapi kemudian Hana memalingkan wajahnya ke jalanan di sampingnya karena rasanya pipinya tiba-tiba memanas. Kano hanya mengangguk-angguk sambil pandangannya tetap lurus ke depan.

"Menurutmu gimana?" tanya Hana sambil matanya tetap melihat jalanan di luar. Dia masih malu kalau harus menatap Kano.

"Hm, lumayan," jawab Kano santai, seperti biasa.

Sejak insiden ciuman itu, Hana selalu malu jika bertemu dengan Kano. Rasanya ia sudah tidak punya muka lagi. Meski tiap pagi Kano masih mencium keningnya, tapi Hana selalu mencoba menghindar, sebisa mungkin meminimalisir pertemuannya dengan Kano. Ada saja alasannya supaya tidak seruangan dengan Kano. Saat Kano di kamar, Hana pura-pura sibuk di luar kamar. Saat Kano ikut keluar kamar, Hana pura-pura mengantuk dan ingin tidur. Sampai tiba saatnya Hana tidak punya alasan lagi untuk menghindar.

"Halo..." ucap Hana ragu saat menelepon Kano yang masih ada di kantor.

"Ada apa?" tanya Kano langsung.

"Hari ini aku mau ke rumah kakek, aku kangen sama kakek."

"Oke," jawab Kano singkat. "Ada lagi?" lanjut Kano.

"Udah sih, itu aja." Sambungan langsung terputus setelah Hana mengucapkannya, membuat Hana cemberut setengah mati.

"Dia ini nggak ngerasa apa kalo aku lagi ngehindarin dia?" gerutu Hana sambil memandangi HP-nya. "Kok jadi kayak dia yang ngehindarin aku sih?" Hana melemparkan HP-nya ke sofa, bosan.

Hana menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa untuk merilekskan pikiran sejenak. Sebentar kemudian ia beranjak untuk bersiap-siap ke rumah kakeknya.

Hana ke rumah kakeknya diantar supir pribadinya yang memang sudah disiapkan untuknya supaya bisa mengantarnya kemana-mana saat Kano tak ada. Begitu tiba di rumah kakeknya, kakeknya masih ada di kantor. Dia tahu itu.

Hana segera menuju kamar yang selama ini ia tinggali sebelum menikah dengan Kano. Menikmati setiap langkah menuju ke kamarnya, ia rindu rumah kakeknya ini. Ia juga sangat merindukan kakeknya. Meski ia ke rumah kakeknya untuk melarikan diri dari Kano, tapi rindu itu bukan bohongan.

Hana merebahkan tubuhnya di atas kasur kamarnya. Menghirup wangi seprei dan bantalnya, tidak ada yang berubah, masih sama seperti dulu sebelum ia tinggalkan. Hana menatap langit-langit kamarnya yang tinggi, memikirkan tentang dirinya akhir-akhir ini, dan juga suaminya. "Ada apa dengan diriku ini?" pikirnya menerawang hingga akhirnya jatuh tertidur.

Dari dalam kamarnya, sayup-sayup Hana mendengar suara kakeknya. Hana bergegas keluar dari kamarnya untuk mengejutkan sekaligus menyambut kakeknya. Tapi saat sudah berhadapan dengan kakeknya, justru ia yang terkejut. Suaminya berdiri berhadapan dengan kakeknya dan menoleh ke arahnya ketika ia tiba. Dia kemari karena ingin menghindari suaminya, tapi kenapa suaminya malah menyusulnya? Hana mendesah.

"Suamimu bilang kalau kamu ke sini tadi siang." Kakeknya membuka percakapan sambil tersenyum. Hana tersenyum kecut, bagaimana ia bisa lupa kalau sekarang kakeknya juga sekantor dengan suaminya. Rumah kakeknya bukan tempat aman untuk kabur dari suaminya, ia akan mencatat itu baik-baik.

"Eh, iya Kek. Nanti malem Hana nginep sini ya Kek? Hana kangen." Hana mencoba beralibi.

"Kalau begitu nanti malam kalian tidur di kamar orang tuamu saja, di sana lebih pas untuk berdua."

"Kalian? Berdua?" Hana merasakan firasat buruk.

"Masa hanya kamu yang menginap di sini lalu membiarkan Kano pulang sendiri begitu?" Belum sempat Hana menjawab, kakeknya sudah melanjutkan, "Kalian berdua menginap saja di sini, lagipula kalian juga sudah menikah." Hana tidak bisa membantah lagi. Rencananya gagal total.

"Minggu depan ada peresmian penggabungan perusahaan." Ucapan kakeknya di meja makan saat makan malam membuat Hana mendongak menatap kakeknya.

"Kamu harus ikut, karena kakek juga akan mengumumkan pada semua orang bahwa cucu kakek masih hidup, dan menegaskan kembali siapa pewaris kakek." Hana hanya mengangguk. Meskipun sudah banyak orang yang tahu kalau ia masih hidup sejak pernikahannya dengan Kano, kakeknya merasa perlu untuk mengumunkannya secara formal.

"Kenapa... kamu bisa ikut ke sini?" Hati-hati Hana bertanya supaya Kano tidak curiga. Mereka sudah berada di kamar kedua orang tua Hana dan sudah memakai piyama.

"Tadi siang aku ketemu kakek, aku bilang kalo kamu ke sini, trus kakek ngajak aku ke sini juga," jawabnya datar sambil memandangi foto gadis kecil yang diapit kedua orang tuanya yang ia ambil dari atas meja. Kano masih serius memandangi foto itu. "Fotomu?" tanya Kano kemudian sambil menunjukkannya pada Hana, Hana hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis melihat foto terakhirnya dengan orang tuanya di bangku taman rumah sakit. Saat itu mereka bertiga tersenyum sangat lebar di hari ulang tahun ibunya. "Orang tuamu?" tanya Kano lagi, dan Hana menanggapi dengan cara yang sama dengan sebelumnya.

Kano kembali meletakkan foto itu di tempatnya semula. Lalu tangan kanannya menepuk kepala Hana pelan. "Jangan sok kuat! Nangis aja kalo pingin nangis," ucap Kano datar, lagi. Hana langsung cemberut dan membantah, "Siapa yang sok kuat? Siapa yang mau nangis? Sok tau!" Otot-otot wajah Hana tegang karena cemberut.

"Bibirmu bisa aja senyum kayak gitu, tapi matamu udah kayak mau nangis." Kano menatap Hana tajam. Mendengar ucapan Kano, otot-otot wajah Hana mengendur, alisnya mengernyit, lalu ia membuang muka. Tapi betapa kagetnya Hana ketika tiba-tiba Kano menarik tubuhnya ke pelukan suaminya itu.

"Ke-kenapa tiba-tiba meluk aku?" Hana gelagapan.

"Yah, pengen aja meluk cewek." Hana tersenyum di balik tubuh Kano. Dia sudah mulai terbiasa mendengar alasan suaminya yang aneh-aneh. Hana balas memeluk Kano dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Kano, menenggelamkan wajahnya di dada Kano dan menghirup dalam-dalam aroma suaminya lalu menyimpannya dalam memori otaknya.

Air mata Hana jatuh ketika dengan pelan Kano menepuk-nepuk punggungnya. Hana semakin mengeratkan pelukannya dan terisak pelan, meski jantungnya sudah melompat-lompat seperti ingin keluar dari rongga dadanya, malam ini ia memaafkan jantungnya.

---

"Nanti malem kamu nggak usah kesini, langsung pulang aja ya? Aku masih kangen sama kakek," ucap Hana sok manis sambil tersenyum kaku. Hana sedang membenahi jas suaminya, berakting harmonis di depan kakeknya.

"Kenapa aku harus pulang kalo kamu di sini? Ngapain di rumah kalo gak ada kamu?" balas Kano santai dengan pertanyaan retoris. Tidak jelas apa motifnya. Entah Kano tahu atau tidak soal Hana yang mencoba menghindarinya. Hanya Kano dan Tuhan yang tahu soal hati dan pikirannya.

Hana langsung cemberut. "Pura-pura!" batin Hana mengomel. Sedangkan Tuan Artawijaya yang sejak tadi memperhatikan mereka malah tertawa terbahak-bahak, membuat Hana dan Kano menoleh padanya. Kakek Hana itu lalu mengelus kepala Hana. Hana hanya mengernyit karena bingung.

"Baru kali ini kakek lihat cucu kakek ini cemberut dan merajuk," ucapnya di sela-sela tawanya yang sudah mereda. Kini ia menoleh pada Kano. "Biasanya Hana selalu senyum, selalu nurut, dan nggak mau egois. Makanya Hana nggak pernah cemberut dan merajuk, karena nggak mau bikin orang lain khawatir," lanjut Tuan Artawijaya.

"Nggak ada gunanya senyum di depan dia. Dia tetap tahu!" Lagi-lagi Hana mengomel dalam hati.

Kini Kano menatap Hana lekat. Hana masih cemberut sambil menunduk. Lalu Kano mendekatkan wajahnya dan mencium kening istrinya, rutinitasnya sebelum kerja. Hana masih tetap cemberut sambil menunduk, tapi pipinya tidak mau diajak kerja sama. Merah!

"Aku berangkat dulu," ucap Kano pelan sambil menepuk kepala Hana.

"Kakek juga berangkat," ucap kakek Hana kemudian, juga sambil menepuk kepala cucu kesayangannya.

-Selesai-

PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang