Prolog

246 27 24
                                    

Suara pecahan piring terdengar sangat kencang, menelusup ke dalam rongga seorang manusia. Ultrasonik gelombang tersebut tak dapat diterima oleh kapasitas gendangnya. Entah sampai kapan keributan tersebut akan terdengar. Dalam jiwa seorang pria setengah baya, kekerasan bisa menjadi alasan yang utama untuk melampiaskan kekesalannya. Dari mulutnya keluar kata-kata kasar nan menusuk hati, membuat seorang pria yang lebih muda meringkuk ketakutan di sudut kamar.

Tak dapat dipungkiri, nama-nama binatang di suaka margasatwa keluar dari mulut kecilnya. Dengan bau rokok yang menyeruak tajam. Botol-botol alkohol tersematkan di antara kursi jati dengan ukiran-ukiran bunga tulip. Kepala sang pria yang lebih muda itu mengucurkan darah yang menganak sungai. Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Tidakkah kabur adalah jalan yang terbaik, namun itu tak dapat dilakukannya. Keadaan yang terjepit ini menjadi alasan utama sang pria muda itu tetap bertahan dalam keadaannya.

Bukan sakit di tubuh yang dirasakannya, melainkan lebih pada batinnya. Tak apa jika dia tersakiti pada tubuhnya, itu masih dapat disembuhkan secara berkala. Namun bagaimana dengan sakit yang ditimbulkan oleh hati? Bukankah itu akan terasa lebih peka? Indra-indranya menjadi lebih berperasa semenjak dia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari ayahnya. Bukan hanya satu dua hari tapi bertahun-tahun lamanya.

Berkali-kali pula bau obat-obatan terus tercium selama beberapa bulan ini, membuat Bintang sudah terbiasa dengan keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan pihaknya. Baju berwarna biru muda dari atas hingga ke bawah pun menyambutnya setiap saat, suster dan dokter yang sama pun sampai mengeleng-gelengkan kepalanya karena merasa iba dengan keadaan anak muda yang ditaksir berumur sepuluh tahun ini.

Tapi kini sepertinya dia akan mengalami hal yang sama, karena perlakuan yang sama oleh orang yang sama. Ayahnya.

"Hei kamu anak gak tau diuntung, mati aja kamu... dasar pembawa siall..."

Kata-kata yang tak pantas ia terima pun menjadi makanannya setiap hari. Entah apa salah anak muda manis itu? Hingga sang ayah menjadi mesin penghancur hati sang anak.

Pemuda tampan itu terus meringkuk ketakutan tak bisa menjawab. Untaian doa nan syahdu dalam hatinya terus diserukan, tanpa kenal letih. Tuhan sedang menguji dirinya, melalui ayahnya. Meskipun selama bertahun-tahun lamanya? Tak apalah, dia iklas bahkan rela. Tak apa tubuhnya hancur saat itu juga, tak apa pula badan mungil nan menggemaskan itu pecah berkeping-keping, menjadi butiran-butiran debu hitam. Yang terpenting dia bisa melidungi sang ibu yang saat ini terjatuh dibelakangnya.

Dipeluknya tubuh wanita itu dengan sayang. Cairan hitam kental itu masih menghiasi baju putih bersih milik sang ibu, ini hasil perbuatan sang ayah, yang menyiramkan air kopi masih panas, keseluruh tubuh ibunya, terdengar rintihan dan rontaan yang tertahan namun tak mampu melawan, bagaikan seekor binatang yang mengharap belas kasihan pada sang majikan. Untuk dirawat dan dicintai, namun tak kunjung didapat malahan bertentangan.

"jangan pernah membawa anak dalam pertengkaran kita, dia sama sekali tak bersalah..." sang ayah menggeram penuh penekanan, tak mendengarkan rintihan dari bibir ibu, ditariknya tubuh sang anak dengan ganas, dan dipukulinya secara kejam. Menghasilkan bilur-bilur luka yang menyakitkan. Sakit hati sang ibu melihatnya. Anak yang ia kandung selama sembilan bulan di dalam rahimnya harus merasakan sesuatu yang tak layak untuk dia terima.

Dari wajah sang ibu tersirat rasa penyesalan yang teramat dalam, bagaimana tidak? Melihat sang anak yang terus disiksa, diperlakukan seperti maling dan penjahat. Sungguh tak tega melihat wajah tampan nan manis itu menangis dan meronta, sungguh tak rela tubuh putih kapasnya terkelupas terkena sayatan benda tajam.

Tak terelakkan, anak itu terus menangis dan menangis, ketakutan bahkan khawatir. Tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Itu tak sampai dipikirannya. Sungguh malang namun tak berdaya, mau melawan tapi tak sanggup, mau kabur tak mendapat akses, serba salah?

Satu kesempatan : sang ayah beranjak pergi menuju gudang, menyisakan sang anak dan ibu yang sungguh-sungguh berusaha untuk kabur dari rumah jelmaan neraka ini.

Dengan sisa-sisa tenaga sang anak, dia mencoba berdiri, menyelamatkan sang ibu yang tengah lemas tak berdaya karena darah yang terus bercucuran, menggendongnya di pundak, tertatih, mencoba berlari, namun tak bisa cepat, justru melambat. Tak apa yang terpenting mereka masih dapat bergerak. Walaupun hampir tak ada harapan untuk kabur, namun anak itu terus berusaha walau hampir sekarat. Peluh darah menetes, mengucur dan berderai bak pancuran air terjun yang jatuh di atas bebatuan tebing. Langkahnya terseok-seok, menghasilkan jejak merah dari kakinya. Membentuk tapak berjari lima.

Langkah kaki sang ayah kembali terdengar, namun dia sudah sampai di ambang pintu. Hanya dua kemungkinan : ketahuan dan mati, atau berhasil dn selamat. Di pikirannya hanya ada harapan demi harapan yang terus membumbung dengan tinggi, sungguh hatinya tak pernah mendendam. Dia hanya trauma dan ketakutan. Tak peduli berapa tetes darahpun yang bisa dia korbankan demi kedua orang tuanya : melindungi ibunya dan menjadi pelampiasan kemarahan ayahnya. Sungguh dia ikhlas dan tawakal dengan semuanya.

Tangannya menggapai gerendel pintu berwarna kuning emas, mendorongnya ke dalam, waktunya hampir habis tak tersisa, sebab suara makian itu sudah terdengar dekat dan jelas. Dibukanya pintu tersebut, dibawanya sang ibu. Walau perlahan namun tak apa, dia berusaha untuk menyelamatkan ibunya. Jika dirinya tak bisa selamat itu tak menjadi suatu masalah, yang terpenting, nyawa seorang ibu yang telah melahirkannya ke dunia mesti diselamatkan

Dia terseok, mereka sudah diluar namun harus bersemunyi. Sebab tidak mungkin mereka berlari sedangkan keadaan sungguh tak memungkinkan. Ibunya hampir kehabisan banyak darah, sama dengan dirinya. Mereka bersembunyi di antara pot-pot tanaman besar, dan berharap tidak ketahuan.

Sang ayah mengumpat dengan kencang, mengetahui dua korban siksaan yang adalah orang terpenting dalam hidupnya pergi begitu saja. Dia menyesal namun sudah terlambat. Bukankah kepercayaan seseorang sangat mahal?

seorang suster yang begitu mengenal bintang membawa kedua manusia tersiksa itu menuju rumah sakit

@@@

Di sisi lain seorang gadis kecil mungil menangis dan meronta, dia meringkuk ketakutan. Kedua orang tuanya bertengkar dengan hebat. Menyisakan dirinya yang kini duduk dan terdiam di sudut kamar mandi. Karena saat ini hanya disanalah tempat yang aman. Dia tidak pernah tahu mengapa dia harus menyaksikan hal itu dengan mata kepaalanya sendiri? Pertengkaran yang hebat, di antara dua insan yang merupakan hal yang penting dalam hidupnya?

Gadis manis itu terus terduduk dan meringkuk. Butiran bening di sudut matanya menggambarkan hatinya yang sedang terluka. Dia hanya ingin orang tuanya kembali seperti dulu. Dia ingin mereka menceritakan dongeng-dongeng pengantar tidur yang membuatnya gembira. Bulan hanyalah seorang gadis kecil yang mengharap kebahagiaan.

Tak tahu apa lagi yang harus dia lakukan. Dia sudah berdoa, tapi sepertinya Tuhan tidak menjawab doanya, atau mungkin belum?

~~~

Bulan dan Bintang, terduduk dan terdiam... Di Langit Yang Sama

KomponentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang