"I'm actually a very nice person, until you piss me off."
***
Galang berjalan di koridor. Dia merasa kesal dengan tatapan orang-orang yang ditujukan padanya. Ada apa? Terakhir kali dia melihat sikap antipati dan mencemooh seperti itu saat dia memutuskan coming out.
Kenapa sekarang terulang lagi? Ada apa gerangan?
"Eh, kalian tau kagak. Si homo punya pacar lho." Satu anak memancing. Provokator.
"Masa? Siapa?" Satu lagi menanggapi.
"Si unyil anak bahasa." Yang lain bensin.
Klop.
Telinga Galang panas mendengar bisik-bisik -yang terlalu keras- perihal hubungannya dengan Dias. "Apa? Lo iri?" Galang berbalik ke arah si provokator, Anto. Galang mencengkeram leher teman sekelasnya itu gusar. "Kalau lo gak terima, sini bilang di depan wajah gue!"
"Lepasin coeg! Lo, homo sialan. Masih berani lo ngelawan gue?! Gak sadar hidup lo lagi terancam, hah?" ucap Anto tak gentar. Dia preman, Galang orang biasa. Apa yang perlu ditakutkan?
"Bajingan! Gue gak peduli siapa lo. Lo duluan yang nyari gara-gara sama gue. Sadar, woi!" Galang tak kalah emosi. Kini, mata keduanya menatap tajam satu sama lain.
"Foto lo sama si ayang udah kesebar ke sekolah. Siap-siap di DO. Haha. Mampus lo!"
Gigi Galang bergemelatuk. "Lo.." jeda sejenak, "gue gak pernah bikin gara-gara sama lo. Kalau lo ikut campur urusan gue, tunggu pembalasan gue." Ancam Galang. Dia gak suka digertak. Apalagi gertakan sambal milik Anto.
Dengan gusar Galang melepas cengkeramannya. Meninggalkan Anto yang mendengus kesal karena dipermalukan di depan umum. Dia tidak percaya sikap Galang -yang biasa cuek di kelas- bisa sekejam itu.
***
Galang salah. Apa yang diucapkan Anto bukan bualan semata. Di mading lama sekolah terpampang jelas fotonya dan Dias sedang bermesraan di atas sepeda motor. Sepertinya foto itu diambil diam-diam, mengingat Galang bukan orang penting yang diburu paparazzi. Parahnya, sekarang dia bisa melihat Dias berada tepat di depan mading. Menatap lurus objek utama. Koridor di samping tangga itu mulai sepi karena bel masuk baru saja berbunyi.
Meski membelakanginya, Galang menduga ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran Dias. Dia menepuk ringan pundak Dias, bermaksud menarik perhatiannya.
"Hai.." ucapnya kemudian. Lembut dan penuh perhatian. Tentu saja dia tidak bersikap tak acuh seperti biasa. Galang tidak ingin menjatuhkan mental Dias lagi.
Tidak ada jawaban. Parahnya, hal ini berulang sampai 3x.
"Dias.." Galang mulai kesal. Apa mantan tercintanya ini masih marah sama dia? "Lo tau 'bajing' kalau diimbuhi -an di akhir kalimat?"
Dias bergeming. Galang mendesis, ikut bergeming. Dia menarik tangannya dari pundak Dias, berganti meletakkan tangan di balik saku celana.
Setelah kurang lebih tak saling bicara dalam waktu 5 menit, Dias akhirnya bersuara. "Semua gara-gara lo. Foto menjijikkan ini tersebar ke seluruh sekolah." Dia berbalik. Menatap Galang tajam, tepat di mata.
Galang balas menatap Dias datar. Dia tau maksud ucapan Dias. "Lo nyalahin gue?" tanyanya dingin.
Dias mengacungkan jari tengah ke arah Galang. "Fuck you," umpatnya kesal sambil berlalu.
Galang kesal, ditariknya lengan Dias yang mulai menjauh. Dias mencoba melepas tangan Galang dari lengannya. Ayolah, lengannya sakit. Aliran darahnya serasa berhenti disana. Kram.
Bukannya iba, Galang makin brutal. Dengan gerakan cepat dia memutar tubuh Dias menghadapnya. Demi membalas Dias, Galang mengangkat jari tengahnya juga. "Fuck you too."
Dias membelalakkan mata. "Apa?!" teriaknya marah. Dia tidak terima dibalas oleh orang yang dia umpat.
Galang hilang akal. Dengan kasar dihantamnya bibir Dias dengan bibirnya. Hanya sekilas. "We're totally done," ucapnya sembari mendorong Dias menjauh, kemudian berlalu tanpa menoleh ke belakang.
Dias termenung, kaget. Apa yang baru saja dilakukan Galang padanya? Dias tidak bisa mendeskripsikan betapa dia sangat tersinggung dengan sikap Galang yang semena-mena.
***
"Homoseksual bukan penyakit, Ibu. Itu hanya variasi seksual antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan." Seorang psikiater khusus seksualitas menjelaskan dengan sabar perihal masalah yang dihadapi wanita paruh baya di depannya.
"Ibu dokter bisa mengatakan itu karena anda tidak benar-benar di posisi saya. Mungkin saya akan mengatakan demikian jika bukan anak laki-laki saya pelakunya." Wanita itu kembali tersedu. Dia tidak bisa membayangkan Galang dan Dias, berduaan di kamar, dan melakukan sesuatu yang 'tidak' seharusnya dilakukan 2 orang laki-laki.
"Saya mengerti perasaan Ibu. Ibu butuh waktu untuk menerima semuanya. Yang paling anak ibu butuhkan adalah dukungan, bentuk nyata rasa peduli. Menjadi gay bukan pilihan, ibu. Semua orang ingin hidup normal sebagaimana norma masyarakat berlaku dan berjalan. Tak terkecuali anak ibu. Tapi mereka tidak berdaya. Mereka memang diciptakan seperti itu. Jangan lupakan, dia masih seorang remaja labil. Mentalnya gampang terpengaruh. Sudah banyak ditemui kasus remaja bunuh diri karena ketidakmampuan berpikir jernih. Silahkan anda pikirkan kembali perkataan saya."
"Saya tau gay bukan penyakit, bu dokter. Tapi bagaimana dengan masyarakat? Ini Indonesia, agama dan adat disini masih kental. Tidak mudah menemukan orang berpikiran terbuka. Saya tidak ingin di sepanjang jalan anak saya dipandang seperti seorang pesakitan. Sekarang saya tanya Ibu dokter sebagai sesama wanita, Ibu mana yang tega dengan hal demikian? Ibu mana yang tidak marah anaknya dianggap penyakit, virus, ancaman masyarakat? Saya gak akan membiarkan itu terjadi Ibu dokter, saya gak bisa." Tangisnya pecah setelah suara bergetar miliknya berakhir.
"Sekali lagi, semua butuh waktu. Tenangkan diri ibu dan coba pikirkan semuanya dari sudut pandang yang berbeda. Percayalah kalau anak ibu pasti tau yang terbaik. Tunjukkan rasa peduli Ibu dan jangan terlalu menuntut. Semua akan baik-baik saja." Sang psikiater memberikan senyuman menenangkannya sembari menyodorkan tisu.
Ibu Dias menerima tisu itu. Dia tak bisa berhenti menangis. Apa salahnya? Mengapa kenyataan menghempaskannya begitu keras? Bagaimana mungkin dia menerima anaknya yang gay?
Semua tidak semudah membalik telapak tangan.
***
"Siapa?! Jawab!" Galang mendorong kepala Anto ke bak toilet yang penuh air. "Lo budek?!" Teriaknya penuh amarah. Dia benar-benar murka.
"Gue gak tau!" Anto lagi-lagi, berteriak putus asa. Dia kesusahan mengambil napas. Kepalanya pusing karena berkali-kali dihantam ke air. Belum lagi setengah badannya (dari atas sampai dada) yang basah sempurna. Seragam putihnya tergeletak mengenaskan di lubang kloset. Galang sengaja menyobek seragam Anto setelah menutup pintunya kasar.
"Lo mau mati?! Cepetan! Siapa yang nempelin semua foto gue sama Dias?!" Galang menendang kaki Anto. "Awas lo kalau sampai bilang 'gak tau lagi'!"
"Gue cuma dibilangin Yosi, Galang.. Please, lepasin gue." Anto sudah diujung batas. Kalau Galang masih terus menyiksanya, bisa dipastikan dia akan tinggal nama.
"Bajingan sialan!" Akhirnya, Galang melepas kepala Anto kasar. Dengan geram dibukanya pintu bilik toilet. Baru beberapa langkah, Anto menutup kembali pintu biliknya sembari berteriak kesal. "Gue gak tau lo sebajingan ini, homo!" teriak Anto. Galang berhenti berjalan. "Haha, wajah polos lo ternyata cuma tipuan. Kasihan banget temen lo, aha, apalagi Dias. Gue gak bisa bayangin seberapa banyak lo udah ngerusak dia," sambung Anto.
Galang menyeringai. "Lo baru sadar? Tenang, gue sebenarnya orang baik kok. Lo aja yang cari gara-gara sama iblis kayak gue." Sebagai sentuhan terakhir, Galang menendang pintu bilik dimana Anto bersembunyi. "Ini karma buat tikus biadab kayak lo!" Ejeknya puas. Galang keluar dengan langkah lebar.
Besok giliran lo Yosi, batinnya.
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa voment ya?? :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Gay Code
Romance[Boyslove] Galang identik sama gay, penolakan, dan pantang menyerah. Dia gak sungkan coming out, gak sakit hati karena ditolak, dan gak pernah menolak kehadiran orang lain yang bener-bener care sama dia. Sekali lagi. Dia emang gay, tapi dia gak lem...