#8 Marah

22 4 2
                                    

Author POV

Sudah 2 minggu setelah kejadian Assa di toilet bandara, semua kembali berjalan normal.

Assa yang sudah biasa saja, dan Khennis yang kembali sering melihat mereka namun tak di ganggu.

Khennis menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Satu kata, bosan.

Bel pulang tinggal 2 menit lagi, tapi guru yang dikenal galak dan disiplin itu masih sibuk menjelaskan materi trigonometri yang sebenarnya sudah diajarkan. Khennis pun sudah mengerti.

Kriing kriing

'Akhirnya, Ya Allah.' Khennis segera membereskan barang-barangnya--yang sebenarnya hanya sebuah pulpen dan buku tulis--ke dalam tas.

Daniel yang notabene tidak satu kelas dengan Khennis, sudah menunggu di depan kelasnya.

"Hai." Sapa Khennis riang.

"Hai." Balas Daniel, dihiasi senyuman.

"Jadi, kita mau kemana?"

"Ke kafe biasa aja, gue lagi males nyetir jauh."

"Oke."

Selama perjalanan Daniel hanya diam, Khennis yang banyak bercerita. Daniel hanya sesekali tertawa atau tersenyum, selebihnya diam.

Sesampainya di kafe keduanya langsung masuk dan duduk di salah satu bangku yang kosong.

Setelah memesan, Daniel memulai percakapan.

"Nis,"

Khennis mengangkat alisnya.

"Gue mau ngomong."

Khennis sempat panik sebentar, tapi Daniel langsung melanjutkan ucapannya lagi.

"Bukan soal hubungan kita. Ini soal gue."

"Lo? Kenapa?"

"G-gue dari kemaren ngerasa gak enak. Kayak, ada sesuatu yang selalu ngikutin gue. Lo pasti ngerti gue mikir apa."

"Ya, gue ngerti. Kenapa?"

"Gue takut. Bukan takut dalam arti apa, tapi gue takut kalo dia membahayakan orang disekitar gue. Terutama lo dan keluarga gue."

Tak lama kemudian pesanan mereka datang, dan bersamaan dengan itu wajah Khennis memucat pasi.

"Nis, Khennis?"

Khennis memekik tertahan.

"Kenapa sih?"

"D-Daniel. Dia.. Dia gak nyakitin orang disekitar lo. Dia nyakitin lo." Jari telunjuk Khennis menunjuk lengan Daniel perlahan. Daniel menengok ke arah lengan yang Khennis tunjuk.

Daniel tersentak.

Cakaran.

Ada goresan bekas cakaran disitu. Napas keduanya memburu. Takut.

"Dia marah, Dan. Dia marah."

Mulut Daniel berkomat-kamit berdoa meminta pertolongan.

Goresannya semakin panjang.

"Ikut gue." Khennis menarik tangan Daniel yang tidak terluka.

"Masih bisa nyetir kan?"

Daniel mengangguk pelan. Lalu mereka berdua masuk ke dalam mobil.

Khennis menunjukan jalannya. Dan akhirnya mereka sampai di suatu rumah yang minimalis namun bergaya kuno.

"Ini rumah siapa?"

"Nenek gue. Ayo turun."

Mereka turun dan mengetuk pintu kayu rumah itu.

Seorang wanita paruh baya keluar memakai daster batik khas jawa.

"Khennis ta'?"

"Iya, Nek." Khennis tersenyum.

"Ono opo toh kemari? Tumben."

"Ini, Nek." Khennis menyerahkan--memperlihatkan--lengan Daniel yang terluka.

Nenek Khennis sedikit tersentak, kemudian Ia jalan tergopoh-gopoh ke arah dapur, dan kembali dengan botol berisi air di tangannya.

Khennis dan Daniel saling bertatap heran.

"Ini, usap tanganmu pakai air ini."

Daniel mengambilnya perlahan, kemudian membuka tutupnya dan mengusap air itu ke tangannya.

Ia meringis pelan.

Dan seketika,

Luka itu hilang.

Mata Daniel dan Khennis hampir saja loncat dari tempatnya.

"K-kok bisa, Nek?" Kini Daniel mencoba bicara.

"Bukan Nenek yang obati, tapi dia." Sontak Khennis dan Daniel menoleh ke belakang secara bersamaan.

Disana, berdiri seorang perempuan cantik berkulit pucat dan bibir pucat. Dengan balutan kain putih. Tersenyum ke arah mereka.

"Yang lukai kamu, itu dia."

Lagi, Khennis dan Daniel menoleh ke kiri mereka dan mendapatkan seorang perempuan yang berwajah mirip dengan perempuan tadi namun wajahnya lebih menyeramkan. Ia terlihat ingin. Diikat.

"Dia marah--siapa namamu?"

"Daniel, Nek."

Nenek Khennis tersenyum.

"Dia marah, Daniel. Dia yang kamu temui kemarin dan kamu menjelekkan dia, kan?" Daniel menunduk. "Lain kali jangan. Ini pelajaran untuk kamu. Jangan pernah kamu ganggu."

***

Setelah berbincang santai, melupakan masalah tadi, Daniel dan Khennis pamit pulang.

Di mobil Khennis kembali mengoceh, menasihati agar tidak mengganggu mereka.

Sesampainya di rumah, Khennis duduk di meja belajarnya.

Ia menemukan secarik kertas lusuh di pojok meja.

Ia membukanya perlahan. Ada goresan tinta disana.

'Jangan ganggu kami. Bilang temanmu, JANGAN GANGGU KAMI.'

***

Uu slay.

Vomments yaaaa! :*

Kehidupan LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang