Tigapuluhdua

568 30 54
                                    


32. Salah Sebut

Nael memundurkan kakinya satu langkah, menyenggol kursi yang berada tepat di belakang kaki anak laki-laki itu dan menciptakan suara bising yang cukup dominan.

Nael tidak percaya sama sekali pada omong kosong yang orang itu katakan. Ia lalu menolehkan wajah ke arah Alona yang masih memaku pada posisinya sejak tadi, melihat bagaimana mata anak perempuan itu sempat membulat selama sepersekian detik karena ucapan Irfan, ia lalu mengerjap beberapa kali saat sadar bahwa Nael mulai memperhatikannya.

"Bohong kan?" Nael bersuara, bermaksud mencari kebenaran atas informasi yang baru saja ia dengar. "Lo nggak jadian sama Irfan kan?"

Lidah Alona kelu, seolah tak bisa mengeluarkan kalimat apa pun sebagai jawaban dari pertanyaan yang Nael sampaikan. Rasa dingin pun mulai menjalar hingga ke ujung-ujung jemari Alona, membuat tubuh anak perempuan itu menjadi kaku dan bahkan sulit untuk mengambil napas.

"Jawab, Al!"

"Lo nggak perlu maksa dia buat ngejawab!" Irfan mendorong tubuh Nael yang terbakar emosi, memaksa orang itu untuk menjauh dari Alona yang masih duduk di atas brangkar.

Namun Nael tak menyerah. Ia mendekat kembali, bahkan menarik kursi yang sempat ia senggol beberapa menit lalu, meletakkannya di samping brangkar dan duduk dekat sekali dengan Alona. Seolah mengabaikan keberadaan orang lain yang ada di ruangan ini bersama dengan mereka.

"Bohong kan, Al?" suara Nael melirih, membuat mata anak perempuan di hadapannya memanas.

Tangan Irfan pun terjulur, berusaha menyentuh bahu Nael untuk menghentikan apa pun yang sedang ia perbuat, "Gue bilang, jangan paksa A—"

"Bacot, anjing!" Nael menepis tangan Irfan dengan sekali gerakan cepat. "Gue nggak ngomong sama lo, bangsat! Ngajak berantem lo?!"

"El.. udah,"

Alona bersuara pelan, membuat kedua orang itu berhenti berdebat. Nael pun mengembalikan posisi matanya untuk melihat Alona yang sudah memberanikan diri untuk menyebut nama anak laki-laki itu setelah sekian lama mereka tak berbincang.

"Nael," panggilnya.

"Iya, iya, Al, gue dengerin," lagi-lagi Nael memfokuskan diri pada yang perempuan, ia bahkan meletakkan kedua tangannya di atas brangkar dan melipat jari-jemarinya seolah memohon pada semesta untuk mendapat jawaban yang ia mau dari mulut Alona.

Alona menelan saliva sejenak, berusaha mengatasi rasa gugup yang seketika memenuhi hatinya. Ia lalu memejamkan mata dalam hitungan detik, kemudian membukanya lagi secara perlahan.

"Kak Irfan nggak bohong,"

Nael mengerjap di saat itu juga. Merasa tidak percaya pada apa yang Alona katakan.

Alona tak lagi mengeluarkan suara, ia hanya menundukkan kepala, menatap kain putih yang berada di pangkuannya. Mencoba untuk mengalihkan pikiran dari apa pun yang sedang terjadi. Dan selama beberapa menit ke depan, hanya deru napas mereka bertiga yang mengisi ruangan.

"Kenapa?" Nael akhirnya melontarkan pertanyaan yang mengganggunya sedari tadi, merasa tak cukup puas dengan pernyataan singkat yang Alona ucap.

Sister's Boyfriend ( REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang