Sembilan

850 98 13
                                    


9. Maaf

Waktunya untuk makan malam sudah tiba. Alona duduk berhadapan dengan Soraya dan Haikal di meja makan, sedang Bi Mirna menyiapkan hidangannya itu. Suasana hening sampai mereka mulai menyantap makanan masing-masing. Hingga akhirnya Haikal yang tidak tahan dengan keadaan langsung berdeham, membuat kedua adik perempuannya menoleh. "Jadi, gimana sekolah lo berdua?"

"Biasa aja." Jawab Alona dan Soraya bersamaan. Mereka lalu saling tatap selama beberapa detik sebelum kembali menunduk dan melanjutkan aktivitasnya.

"Al, gimana? Sekolah di sana enak nggak? Banyak temen?"

Alona menggeleng untuk menjawab pertanyaan Haikal. "Gue males temenan sama banyak orang. Risih aja."

"Lo tau sendiri, Kal, kalo dia emang nggak bisa bergaul." Celetuk Soraya.

"Bukan nggak bisa, tapi gue--"

"Tapi emang nggak ada yang mau temenan sama lo?"

"Lah, kok lo malah jadi nyolot sih, So?"

"Udah." Haikal meletakkan sendok dan garpu di tangannya ke atas piring. "Sehari, bisa nggak sih cuma sehari aja gak usah berantem?"

"Gue sih cuma ngasih pendapat aja."

"Pendapat apaan yang mojokin gue kayak gitu?"

"Gue bilang, udah." Haikal lagi-lagi menengahi. "Nggak tau lah, capek gue punya adek kayak lo berdua, ribet."

"Sama, gue juga capek punya adek kayak dia."

"Soraya," Haikal menoleh ke perempuan yang duduk di sampingnya, menyuruh ia untuk berhenti menyahuti.

"Sekarang, habisin makanan kalian, nggak usah ada yang ngomong."

"Yang duluan ngomong aja siapa,"

"Soraya Meifya," Haikal menghela napasnya berat, yang dibalas dehaman oleh perempuan itu.

Suasana kembali hening sampai akhirnya perempuan berumur 17 tahun itu menyelesaikan acara makannya, menghapus sisa-sisa makanan di sekitar bibir menggunakan tissue, lalu berdiri dan kembali ke kamarnya.

Satu-satunya laki-laki di tempat itu ikut berdiri untuk meninggalkan meja makan. "Gue duluan ya, lo jangan tidur malem-malem. Besok gue yang anter ke sekolah." Setelah mengucapkan kalimat itu, Haikal berlalu.

Kali ini, suasana meja makan semakin hening. Alona menatap makanannya malas dan berniat untuk kembali berkutat pada acara makannya kalau saja ponsel di depannya tidak berdering.

Perempuan itu mengangkat kepalanya, menatap ponsel berwarna silver di seberangnya yang terus berbunyi. Tak lama kemudian, telepon itu mati. Alona menghela napas lega.

Belum ada dua detik, telepon lagi-lagi berbunyi. Rasanya Alona ingin sekali memanggil Soraya dan memberitahu bahwa ada telepon masuk, namun rasanya tidak mungkin, mengingat hubungan mereka kembali seperti sediakala. Dingin, seakan mereka berdua tidak memiliki hubungan darah.

Ponsel itu terus berdering dan sang empunya tak kunjung datang.

Nekat.

Alona menjulurkan tangannya untuk mengambil ponsel Soraya. Ia menatap lekat-lekat nama si penelepon sebelum menekan tombol berwarna hijau dan menggesernya.

"Halo, So? Lo di mana? Gue udah di depan rumah lo nih."

Suara bariton dari seberang sana lantas membuat Alona melempar pandangan ke arah salah satu jendela di ruang tamu. Walau ia yakin hal itu tidak akan membuatnya dapat melihat si penelepon di luar sana.

Sister's Boyfriend ( REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang