Bab Dua
Met Lucifer’s Descendant
Geraman dari sela-sela gigiku terdengar lebih kencang sekarang. Kedua tanganku mencengkeram leher Clarissa, mencoba mencekiknya sementara sepupuku itu—yang dipenuhi hasrat jahat oleh alter egonya, Lilac—menarik rambutku cukup kasar. Ia berhasil menggulingkan tubuhkuku sehingga sekarang posisi kami terbalik dengan aku di bawah sedangkan ia di atasku. Matanya terpaut dengan matakuyang sama-sama segelap lorong tanpa ujung. Bibir kami bergetar menahan nafsu membunuh. Sampai akhirnya aku terbatuk dan menyadari bahwa Hazel telah menghilang.
“Lilac, Lilac, cukup. Hazel sudah hilang, ini aku,” bisikku di sela-sela napasku yang tersengal. “Lilac.” Aku menahan kedua tangan Clarissa yang tetap mencekik leherku.
“Hah, gadis kecil yang payah,” Clarissa mendesah, sebelum akhirnya kembali seperti semula. Iris matanya yang berwarna hitam kelam berubah menjadi abu-abu lagi. Dia melepas tangannya dariku, lantas berdiri.
Aku terduduk dengan napas memburu dan terbatuk-batuk. Gila, bisa-bisa aku mati di tangan altergo kalau seperti ini terus-menerus. Tidak hanya mengancam manusia normal lainnya, Hazel berpotensi membuat altergo yang lain geram dan ingin menyerangku.
“Kau memang menyebalkan,” dengusku menyentuh leher jenjangku.
“Aku hanya datang kemari untuk menyambutmu.” Bola mata Clarissa terputar jengah. “Sudahlah. Sepertinya kau memang butuh istirahat. Lain kali kalau bertemu denganku, sapa aku, Sepupu jauh.” Sudut bibir Clarissa terangkat ke atas, tersenyum mencemooh.
Gadis pirang itu melenggang meninggalkan dapurku dengan langkah khitmad penuh ketukan. Beberapa langkah sebelum menghilang dari pandanganku, Clarissa mengangkat sebelah tangannya dan berbalik.
“Oh, aku hanya ingin memperingatkan satu hal. Kau dalam pengawasanku di sekolah. Selain karena aku adalah sepupu jauhmu yang disuruh oleh ayahmu memantau keadaanmu selama bersekolah, aku juga akan memastikan kau tidak berbuat ketololan dengan mencekik teman-teman sekelasmu seperti yang pernah kaulakukan di sekolah lamamu.”
Aku mendesah kesal. “Enyahlah.”
“See ya, Baby.” Lantas, Clarissa meneruskan langkahnya menghilang dari pandanganku.
Lagi-lagi aku mendesah kesal. Kususupkan jari-jemari pada helaian rambut ikalku, mengacak-acaknyanya frustrasi. Oh, ini masih hari ulang tahun Clove. Akan kuberikan hadiahku untuknya di dalam kamar. Sebelum aku pulang, sengaja aku mampir ke toko pernak-pernik untuk mencari hadiah ulang tahun bagi Clove. Kurasa ia akan menyukai hadiahnya kali ini.
Sudut mataku melirik tas slempangku yang kuletakkan di atas kursi. Aku menyambar sesuatu di dalamnya, sebuah kotak berukuran sedang. Kakiku bergerak secepat gasing menuju lantai atas. Kunaiki dua anak tangga sekaligus, menghampiri kamar Clove yang terletak di sebelah kamarku.
Clove tengah mengerjakan PR di meja belajarnya. Rambut pirangnya diikat ke atas dengan kepala tertunduk menekuri buku-bukunya. Dia mewarisi warna rambut Mom yang berwarna pirang ceri sedangkan aku mewarisi warna rambut coklat Dad. Kami berdua memiliki manik mata Mom, hazel. Kudekati Clove; tampaknya dia terlalu sibuk mengerjakan PRnya.
“Hai, happy birthday,” bisikku sambil mengecup puncak kepalanya.
Clove menengadah, menampakkan barisan giginya yang putih dan rapi melihat kotak yang kuulurkan padanya. Dia menyambar kotak itu cepat-cepat, kemudian menarik sebuah miniatur bola kaca yang terdapat sepasang boneka bersyal tengah bergandengan tangan ditaburi salju. Seperti ekspektasiku, Clove merekahkan senyumnya semakin lebar dengan bola mata membulat senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descendant (CANCELLED)
FantasyHak pengarang dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seijin penulis, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya. Apabila ditemukan pelanggaran dapat dikenakan sank...