Delapan
Fuck You, Hunter
Sepertinya aku tidak sedang berada di bumi. Aku bahkan tidak yakin masih hidup, sebab yang kurasakan begitu aneh. Pikiranku kacau. Apapun yang kulakukan jadi tidak fokus jika mengingat-ingat kejadian malam lalu, sampai-sampai aku tidak percaya bahwa aku sedang tersenyum-senyum sendiri di depan cermin. Aku mematut diriku, memandangi bayanganku yang terpantul dalam cermin sementara pikiranku terus-menerus memonopoli dengan membentuk ingatan beberapa jam yang lalu mengenai soal itu. Lihatlah, sekarang dua pipiku memerah.
Ya ampun, ini kenyataan. Aku sudah mencubit pahaku berkali-kali dan berteriak girang mengingat ini nyata! Clarissa pasti tidak akan percaya. Bahkan, Sophia dan Vasilissa pun akan menganggap aku gila jika aku menceritakan apa yang terjadi malam lalu.
Bibirku masih mengembangkan senyuman lebar seperti orang sinting ketika kudengar bunyi klakson dari bawah. Secara impulsif, aku menjatuhkan sisir di tanganku, lantas melompat dari kursi rias menuju jendela. Kusibak tirainya, melihat keadaan di bawah dan menemukan mobil Audi milik Draven. Jantungku seketika mencelos nyaris jatuh sampai perutku melihat wajah malaikatnya yang begitu memesona di bawah terik matahari ketika ia menengadah ke atas dan tersenyum padaku. Senyum-mempesona-keparat khasnya. Aku merasakan kakiku seakan meleleh di lantai ini. Gigiku terbenam pada permukaan bibir bawahku, lalu kusibak tirai itu dan segera mengambil tas untuk menyusul ke bawah—aku tidak mau ia menunggu terlalu lama di sana.
Kupastikan tidak ada yang ketinggalan. Make up, jins, tank top dilapisi jaket denim, rambut ikal yang sudah rapi, semuanya sempurna! Aku berlari cepat keluar dari kamar, menyusuri lorong dengan langkah gaduh, dan menuruni dua anak tangga sekaligus. Begitu sampai di tengah tangga, aku melompati birainya, mendarat di atas sepatu botku dengan lincah, baru melesat pergi.
Saat pintu rumah kubuka, aku melihat Draven yang berdiri di depan bodi mobilnya tanpa melenyapkan senyum-mempesona-keparatnya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku sedangkan kakinya disilangkan. Ia menelengkan kepalanya ke satu sisi; bola matanya yang dihiasi iris berwarna biru menelisik penampilanku dari puncak kepala hingga ujung sepatuku, membuatku spontan menyelipkan rambut ke belakang telinga diikuti keberadaan senyum kecil di bibirku.
“Hai,” sapaku membuka percakapan di antara kami. “Pagi.”
“Pagi,” Draven membalasku, lantas menyambutku dengan ciuman di sudut bibirku. Tubuhku rasanya seperti bergetar kecil merasakan bibirnya pada sudut bibirku.
Ingat, Lily, jaga pikiranmu. Jangan sampai ia mudah membacanya. Berulang kali Hazel memberikan peringatan padaku di dalam otakku. Aku menuruti perintahnya, mencoba sebisa mungkin mengalihkan pikiranku yang biasanya ngelantur dan ngawur.
“Aku rasa, ini terlalu pagi.” Aku menyadarinya saat menengok jam digitalku. Masih jam tujuh, sementara bel sekolah berdering tepat jam delapan. Tapi jika yang menjemputku adalah pacar malaikatku, aku sih tidak masalah. Bahkan jika ia menjemputku pagi buta, aku sudah pasti siap di depan pintu.
“Aku terbiasa berangkat pagi,” katanya. “Mungkin kau juga harus terbiasa berangkat pagi karena aku akan mengantar-jemputmu setiap hari. Mulai sekarang.”
Berangkat pagi bukanlah aku. Well, aku bahkan sering terlambat bangun. Tapi bagaimana lagi? Sekarang aku tidak boleh malas jika ingin terlihat plus di mata Draven.
“Hm,” dengusku pelan. “Sepertinya… aku harus menyetel ulang alarmku.”
Draven tertawa pelan menanggapi selorohanku. Tangannya terulur, mengacak-acak poniku yang sudah kusisir rapi hingga membuatku berjengit dan menghindar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descendant (CANCELLED)
FantasyHak pengarang dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seijin penulis, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya. Apabila ditemukan pelanggaran dapat dikenakan sank...