Bab Tiga
Mother’s Necklace
Beberapa hal sedikit menggangguku hari ini. Bermula dari kutemukan sebuah kalung yang jatuh dari dalam kotak kayu dengan ukiran-ukiran klasik. Aku menemukan kotak ini di atas lemari. Oh, baru kuingat kalau kotak ini adalah kotak ibuku yang kuambil dari rumahnya sehari setelah ia meninggal. Perutku mengejang aneh menggenggam kalung dengan bandul bulat telur berukir huruf-huruf latin membentuk kata Montreal. Montreal adalah nama keluarga ibuku. Ya. Shadie Montreal. Ibuku keturunan Inggris dan Spanyol.
Aku menyukai kalung ini karena bentuknya yang unik dan klasik. Kalau kutelisik dari bahan dan bentuknya, aku rasa kalung ini dibuat pada abad pertengahan. Aromanya tercium khas logam lama. Aku menggigit bibir bawahku, memasang kalung itu pada leherku. Kuamati bandul di apitan jariku. Kilauannya sunggh memesona.
Sejenak aku menoleh pada cermin, melihat bayanganku yang terpantul di dalamnya namun dalam penampilan yang berbeda. Kedua isris matanya hitam gelap, nyaris seperti gelapnya lubang tanpa dasar. Wajah yang pucat dan bibir semerah darah. Ia mengenakan pakaian serba hitam; tank top, jaket, dan celana senada ditambahi bot hitam di bawah lutut.
“Hazel,” sapaku berbisik.
“Aku merasakan adanya rahasia dari kalung itu, Lily,” katanya, menunjuk kalung yang kukenakan.
Ya, aku sedikit sependapat dengannya. Sebab saat tanganku menyentuh bandul kalung ini, ada perasaan aneh yang menggantung di dasar hatiku. Kuamati sekali lagi bandul bulat telur yang berukir Montreal.
“Ini indah,” kataku memuji.
“Aku sarankan kau untuk tidak mengenakannya.” Hazel memutar bola matanya. Di dalam cermin itu, kulihat ia duduk di atas ranjangku, menyilangkan tungkainya. “Instingku mengatakan bahwa kalung itu akan mengantarmu pada bahaya.”
Oh, insting seorang altergo. Walaupun aku mempercayai Hazel dalam hal ini, sudut pikiranku memaksaku untuk tetap memakainya. Aku menggeleng pelan menanggapi perintah Hazel. Kalung ini milik Mom, yang pastinya sudah menjadi milikku pula.
“Tidak.” Kugenggam bandulnya erat. Hal itu membuat Hazel mendengus pelan karena aku mengabaikan perintahnya.
“Terserahlah.”
Beberapa saat aku tertegun tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku. Sampai akhirnya suara ketukan pintu kamarku menyadarkanku dari lamunan. Kulenggangkan kakiku untuk membuka pintu. Wajah Clove tampak di depanku ketika pintu kamar kubuka.
“Boleh aku tidur di kamarmu?” tanyanya.
“Tidak biasanya.” Aku mengernyit heran.
Clove mendesah pelan. Terdapat emosi resah yang tercetak jelas pada kedua matanya ketika memandangku. “Aku takut.”
“Takut?” Kali ini aku benar-benar tidak mengerti. “Kenapa?”
Bibirnya terkatup membentuk satu garis lurus dan ia menggeleng, keberatan memberitahuku. Karena penasaran, kuserahkan saja semua ini pada Hazel. Sudut bibir Clove sedikit menegang melihat perubahan iris mataku yang menggelap. Aku bisa saja membaca pikiran Clove tanpa perantara Hazel, jika Clove mau berkonsentrasi padaku. Namun ia tipe anak yang keras kepala. Hazel yang sering berhasil membuatnya ketakutan dan menuruti setiap perintahku, sehingga kali ini aku bisa membuka dan membaca pikirannya dengan leluasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descendant (CANCELLED)
FantasyHak pengarang dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seijin penulis, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya. Apabila ditemukan pelanggaran dapat dikenakan sank...