"Sekarang sudah berapa hektar tamanmu itu?"
Gadis itu ikut berjongkok di sampingku. Rambut pendeknya berkibar ditiup angin dibawa naungan topi lebarnya. Aku hanya menatapnya sekilas kemudian kembali kutatap hamparan berwarna kuning cerah di depanku. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat pertanyaan gadis itu.
"Nggak tahu, dua hektar mungkin. Atau lebih."
Gadis itu menatapku lagi dengan mata sipitnya. Senyum masih terkembang jelas di wajahnya. Sepertinya bagi gadis itu, berada di bawah terik matahari dengan gaun selutut tanpa lengan bukanlah hal yang besar. Musim panas kali ini memang lebih menyengat di banding sebelumnya.
"Kamu ingat waktu aku pertama kali datang ke tamanmu?"
Aku mengangguk singkat dan menaikkan sedikit topiku. "Tentu. Aku selalu memarahimu kalau kamu iseng memetik bunga-bungaku sembarangan!"
Gadis itu terkikik. "Ya, tapi aku selalu suka hamparan kuning ini. Menyilaukan tapi misterius." Dia menatapku kembali dengan satu tangannya menyangga kepalanya. "Ceritakan padaku, kisah yang dulu kau janjikan padaku."
Aku tersenyum mendengarnya. "Kau masih ingat janji itu? Mungkin kau akan merasa bosan karena aku selalu mengoceh tentang bunga matahari. Kisah ini juga tentang bunga matahari."
Gadis itu menggeleng pelan. "Aku punya banyak waktu. Ceritakanlah."
"Kau tahu kenapa aku sangat menyukai hamparan kuning yang seperti ladang emas ini?" aku tersenyum saat gadis itu kembali menggeleng. "Ini kisah tentang janji yang belum sempat kutepati. Janjiku pada gadis yang kucintai. Gadis yang selalu berkilau bagaikan sinar mentari."
Gadis disampingku itu tampak tenang mendengarkan. "Aku begitu mencintainya dan dia pun begitu. Aku berjanji padanya untuk memberikan bunga matahari yang pertama tumbuh setelah kutanam sendiri. Aku tak tahu merawat bunga matahari tidaklah semudah dan secepat bunga lainnya... Lalu akhirnya kuncup pertama bunga matahariku mekar..."
"Kau memberikannya?" ujar gadis itu dengan mata berkilat dan pipi merah merona.
Aku melempar pandanganku ke seluruh ladang bunga matahariku. "Sudah kubilang, aku belum menepati janjiku padanya... Aku keburu pindah ke Jerman kala itu... Tapi gadis itu ternyata masih menunggu datangnya bunga pertamaku..."
"Lalu tunggu apa lagi? Berikan padanya bunga matahari pertamamu!"
Kutatap langit biru yang bersih dari awan-awan berarak. Angin musim panas menerpa wajahku yang penuh peluh. Seekor kupu-kupu melewati kepalaku dan mendarat di salah satu kelopak besar bunga matahariku yang terkembang sempurna. Warna kuning yang cerah. Indah. Menyilaukan. Seperti senyumnya dan tawanya yang selalu kusuka.
"Dia memang menungguku... di keabadian..."