Kerumunan orang-orang dengan senyum merekah berdesakan di ruangan raksasa itu. Peluh menetes dan suara bergema. Namun tak ada yang mengeluh. Hanya ada canda riang dan binar mata yang menggairahkan. Semua itu hanya karena suatu hari penting seperti hari ini. Hari yang selalu ditunggu setiap orang yang ingin melangkah ke jenjang yang lebih tinggi.
"Selamat ya Kak Diana!" ujarku sambil menyerahkan sebuket kecil mawar pada seniorku itu.
Diana Sellavina merekahkan senyumnya kembali. Diterimanya buket dariku dengan suka cita. Tanpa kuminta dia segera memelukku erat. Senior yang selalu membantuku itu adalah satu diantara ribuan wisudawan yang melepas status mahasiswanya hari ini. Dengan kebaya biru muda yang serasi dengan kulit putihnya dan toga yang tersampir di atas sanggulnya, Diana tampak begitu cantik.
"Terima kasih, Kenny!! Kamu dateng juga nih?"
Aku menatapnya dengan satu alis terangkat. "Hello, seorang Diana Sellavina wisuda dan aku nggak dateng? Nggak banget deh Kak! Selamat ya, akhirnya lulus juga!"
Diana kembali tersenyum lembut. "Terima kasih. Semoga kamu cepat menyusul ya." kemudian lengannya menggamit lenganku. "Dan kusarankan kamu segera mengatakan padanya." Kepalanya menoleh ke arah sesosok yang memang sejak tadi diam-diam kuperhatikan.
Toga itu tampak gagah bertengger di kepalanya. Senyumnya merekah sama lebarnya dengan semua yang hadir di aula raksasa itu. Alisku berkedut tanpa alasan yang jelas hanya dengan melihat senyumnya. Senyum yang selalu kurindukan tiap harinya selama setahun terakhir.
"Hei, jangan bengong. Ayo aku antar kamu. Buket yang itu buat dia kan?" Diana menepuk pundakku pelan dan tersenyum menggoda. Ah, senior itu tampak begitu cantik hari ini. Kalau aku boleh memasangkan, aku memang ingin memasangkan sosok disana dengan Diana. Sempurna.
Tak mendapat respon dariku, Diana sedikit menarik lenganku. "Ayolah, kapan lagi kau bisa mengucapkan ini padanya!" Namun aku menolaknya dengan keras. Buket itu memang sudah ditangan tapi hatiku belum siap.
Diana Sellavina segera meninggalkanku dan berjalan cepat ke arah sosok itu. Sosok itu menyambut Diana dengan senyum yang semakin merekah. Ah benar-benar pasangan yang sempurna. Dan kini mereka tengah berjalan ke arahku. Membuat degup jantungku semakin berpacu dengan butir keringat yang mengalir dari dahiku.
"Hei, Kenny! Kamu datang!" serunya sambil menepuk kedua pundakku. Ah matanya juga ikut tersenyum padaku. Indah. Tampan.
"Aku pergi dulu ya? Nikmati waktu kalian." Diana segera meninggalkan kami tanpa mempedulikan pandangan protesku padanya.
"Kak ini untuk kakak. Selamat atas kelulusannya." ujarku sambil menyerahkan sebuket bunga lili putih yang lebih besar dibanding buket yang tadi kuberikan pada Diana.
Laki-laki itu menatapku dengan smiling-eyes nya yang semakin tampak menawan. "Terima kasih." ujarnya singkat namun mampu membuatku melumer ke lantai. Saat itu kusadari bahwa mungkin aku tak bisa melihatnya lagi. Melihat senyumnya lagi. Melihat mata beningnya tersenyum padaku. Dan saat itu benar-benar kukumpulkan keberanianku untuk mengatakan semuanya.
"Ken, aku juga sekalian mau bilang ke kamu." ujarnya, mematahkan momenku untuk mengatakan perasaanku padanya. "Kamu benar, orang tua kami menyetujuinya."
"Apa maksud kakak?"
Senyum itu terlihat lagi. Dari bibirnya. Dari matanya. Dari bahasa tubuhnya. Dia tampak benar-benar gembira. Mungkin selain hari kelulusannya, dia juga memiliki momen hari ini.
"Aku akan segera melamar Diana, Kenny!"
Ah, benar sekali.
"Kamu tahu, orang tuaku dan orang tua Diana menyetujuinya. Menurutmu, Diana akan menerimaku? Aku merasa sedikit ragu." ujarnya masih dengan semua senyuman indah itu.
Aku menggeleng pelan. "Dia pasti menerimamu Kak. Kalian pasangan yang serasi kok. Tenang saja."
"Benarkah?" matanya semakin berbinar.
Aku kembali mengangguk. Senyum terbaikku berusaha kulempar padanya. "Kalian memang seharusnya bersama. Kak Diana memang yang seharusnya bersama kakak."
Kini kupandangi buket bunga lili putih di tangannya. Indah. Lili itu adlah perwujudan dari sosok indah yang selalu tersenyum itu. Perwujudan sebuah perasaan murni yang polos dan suci dariku untuknya. Yang kini mungkin tak begitu berarti lagi. Karena aku selalu tahu. Aku tahu aku bukanlah yang harus berada di sampingnya. Cairan hangat merembes begitu saja dari sudut mataku.
"Hei, Kak... Haruskah aku ikut bahagia melihat kakak bersama Kak Diana?"