Aku memandang kosong layar putih di depanku. Susu panas di cangkir besarku kini tak lagi mengepulkan asapnya yang hangat. Jemariku seakan beku diatas keyboard dan mataku terpaku di balik kacamataku. Otakku sunyi senyap. Tak ada yang masuk dan tak ada yang keluar.
"Azka?"
Lamunanku buyar. Kupandangi layar ponselku yang masih menyala dalam mode loudspeaker.
"Ada apa?"
"Kamu baik-baik saja?"
Aku tersenyum kecut. Baik-baik saja benar-benar bukan kata yang tepat. Hujan diluar rasanya melambangkan perasaanku saat ini.
"Umm"
"Bohong."
Ya sudah tahu bohong. Kenapa pakai tanya? Aku mulai mengetikkan beberapa huruf di layar putih itu. Sudah berapa lama ya aku bengong? Padahal deadline tinggal dua hari lagi dan aku belum menyelesaikan tugasku. Ini gara-gara pikiranku yang tidak fokus.
"Azka! Kamu kenapa sih!"
Suara dari ponsel itu lama-lama membuatku kesal. "Nggak kenapa-napa Mas!"
"Bohong!" Hening sejenak. "Kamu masih mikirin London?"
Sial! Satu kata terakhir itu bikin mataku panas. Kuseruput susu di cangkirku yang kini sudah dingin. Aku hanya ingin kembali fokus dan semua itu gagal karena orang yang tengah meneleponku.
"Nggak."
"Udah deh, Ka! Kamu itu jangan kepikiran itu terus, nggak baik juga buat kesehatanmu. Ingat kemarin maag-mu kambuh kan! Jangan berlarut-larut lah!"
"Berisik! Aku nggak mikirin London lagi tahu!"
Sial, sekarang dia berhasil membuatku memboroskan air mataku. Baru saja aku mau mencemoohnya, sambungan di telepon itu mati. Bagus, sekarang dia takut setelah kubentak? Biarlah. Toh dia juga nggak bisa membantu apa-apa. Toh dia juga nggak bisa membuatku pergi ke London. Toh dia juga bukan siapa-siapa. Hanya orang yang kukenal.
"Azka!"
Kini aku benar-benar terkejut sampai cangkirku hampir lepas dari pegangan jemariku. Suara berat itu terdengar tak jauh dari kamarku. Mengalahkan suara hujan. Suara itu kembali memanggil namaku. Dan semakin keras. Dengan rasa penasaran yang tinggi aku menuruni tangga dan mengintip dari jendela di ruang tamu.
Dia berdiri disana. Di tengah hujan deras dan petir yang menyambar. Dengan sebuah pot besar dan bunga bougenvile ungu yang rimbun dan cantik. Aku hanya memandangnya beberapa detik sampai kusadari aku harus membiarkannya berteduh.
"Mas Farrel! Kenapa hujan-hujanan! Masuk dulu!" aku segera menarik lengannya untuk berteduh. Kubantu dia menyeret pot besar itu masuk ke halaman. Pundak dan kepalaku sedikit basah karenanya. Menyeret pot besar itu tak begitu mudah bagiku kami berdua.
"Mas kenapa hujan-hujanan sih! Dan lagi ini apa!" ocehku padanya. "Sebentar aku ambilin handuk. Di rumah nggak ada orang nih, jadi a-"
"Di sini saja dulu."
"Kenapa? Nanti Mas Farrel masuk angin!"
Dia masih erat mencengkeram lenganku. Akhirnya aku menurut dan kembali berdiri di hadapannya di teras. Mata sipitnya menatapku tajam. Bibirnya yang memutih kedinginan mengatup rapat. Dan rambut cepaknya berantakan karena basah air hujan.
"Itu buat kamu bunganya. Dulu aku janji beliin kamu kan."
Aku mengernyit padanya. "Tapi kan aku gagal ke London! Mas menghinaku ya!" sergahku. Mataku kembali panas karena mengingat momen dimana aku tak menemukan namaku diantara puluhan orang yang mendapat beasiswa ke London. Sakit. Perih.
Dia menggeleng pelan. Tatapannya melunak. Jemarinya merangkul jemariku. Menyerap kehangatan dari tanganku. "Azka, kamu boleh kecewa. Kamu boleh marah. Kamu boleh menangis. Tapi jangan lakukan ini padaku."
"Lakukan apa!"
"You tell me! Kau membiarkan tubuhmu begitu saja, kau membiarkan pikiranmu tak berfungsi, kau membiarkan perasaanmu menguasai tubuhmu! Kau bilang kau baik-baik saja?"
Aku melempar pandanganku dari tatapan menuntutnya. Ah bunga ungu nan indah itu tengah berjuang menegakkan kelopaknya dari hajaran siraman hujan badai malam ini. Bunga yang gigih. Aku melepaskan tangannya dan berjalan ke bawah siraman hujan yang tak kunjung reda. Aku hanya tak ingin orang ini melihat air mataku mengalir. Dia adalah orang terakhir yang boleh melihat aku menangis. Atau bahkan orang yang tak kubiarkan melihat air mataku.
"Bougenvile untukmu. Kau akan baik-baik saja, Azka."
"Aku nggak baik-baik saja..." desisku tanpa kutahan ketika lengan dingin dan basah itu melingkar melewati pundakku. Memenjarakanku dalam keadaan sentimentil ini.
"Aku tahu. Untuk itu aku ada disini."