Alam Semesta Versigi, Palangkaraya, Republik Indonesia Serikat.
Setengah jam setelah keluar dari ruangannya, Rizal kembali dengan wajah sumringah lalu meminta waktu sejenak pada Sanjaya untuk berkemas sebelum akhirnya bersama Sanjaya dan Nandi turun ke lantai bawah kampus.
“Ayo, kita bicara saja di rumahku,” ajak Rizal.
“Naik taksi jurusan apa ini?” Sanjaya balik bertanya.
“Taksi? O tidak, kalian berdua ikut mobilku saja,” Rizal mengeluarkan sebuah kunci elektronik dan menekan tombolnya, membuka pintu sebuah mobil van Suzuki Carry berwarna biru metalik lalu mengajak Sanjaya dan Nandi ikut naik ke dalamnya.
“Hei kamu Nandi kan?” Rizal menoleh ke arah Nandi ketika mereka semua telah masuk ke mobil.
“Iya Pak,” Nandi menjawab.
“Ah jangan panggil Pak lah, saya ini masih muda lho Dik Nandi.”
“Masih muda? Kamu korting umurmu berapa persen Zal?” sahut Sanjaya.
“Hei! Bilang aku sudah tua kalau aku sudah uur 70 tahun Sanjaya! Sebelum itu, aku ini tetap orang muda, mengerti?” balas Rizal dengan nada bercanda.
“Ah terserahlah,” Sanjaya mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum.
Rizal mulai menyalakan mesin mobilnya dan membawa mobil itu keluar ke jalan raya, “Jadi bantuan apa yang kalian perlukan? Dan untuk apa?”
“Kami ingin kau membantu kami membaca sekumpulan tulisan kuno.”
“Wah-wah apa sih misimu kali ini Sanjaya? Menjarah makam atau mencari harta karun?”
“Kalau iya apa kau akan tetap membantu?”
“Asal kalian berjanji tidak mengambil lebih dari 20% hartanya aku berjanji.”
Sanjaya meletakkan tangannya ke belakang kepalanya, “Kau boleh eksplorasi situsnya semaumu jika kita sudah menemukannya nanti. Kami hanya perlu setidaknya beberapa patung yang ada di sana.”
*****
Rizal membawa mobilnya menuju sebuah komplek rumah-rumah yang masih bergaya kolonial kemudian membelokkannya ke sebuah rumah bercat dominan putih dengan atap yang telah diganti baru, masih berwarna merah, tidak hitam seperti kebanyakan rumah lainnya.
“Ayo turun,” Rizal mematikan mesin mobilnya lalu turun dari mobil diikuti oleh Sanjaya dan Nandi.
Rizal beranjak mendekat ke pintu samping lalu mengetuk pintu rumah itu tiga kali, “Bu, Bapak pulang Bu.”
Terdengar suara langkah kaki orang di dalam rumah dan sesaat kemudian terdengar suara kunci pintu dibuka. Di balik pintu itu tampak seorang wanita berusia awal 20 tahunan, berkaus coklat dan bercelana hitam kotak-kotak tampak menyambut mereka dengan senyuman. Wanita itu membawakan tas Rizal lalu mempersilakan kedua tamunya masuk ke dalam.
Di dalam Rizal langsung mempersilakan dua tamunya duduk di sofa sementara istrinya masuk ke dapur setelah meletakkan tas milik Rizal di sebuah ruangan.
“Mana tulisannya?” tanya Rizal ketika ia sudah duduk.
Nandi mengibaskan tangan kanannya, memunculkan bilah sundang miliknya – Salaya – dari udara kosong. Sementara Sanjaya melakukan hal serupa dan memunculkan Drestha. Mata Rizal sempat memicing sedikit melihat cara kedua saudara itu mengeluarkan bilah-bilah senjata itu.
“Trik sulap?” tanya Rizal perlahan.
“Sayangnya bukan,” ujar Sanjaya.
“Ya sudahlah, sebentar,” Rizal beranjak berdiri lalu kembali beberapa saat kemudian dengan membawa sebuah kaca pembesar. Ia mengamati tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang terukir pada bilah dan gagang emas Drestha kemudian berlanjut pada Salaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contra Mundi III - Master Mahan
FantasyMerupakan bagian akhir dari Trilogi Contra Mundi. Dalam bagian ini Nandi dan kawan-kawannya harus mencari sekutu-sekutu baru untuk membantu mereka dalam konflik pamungkas para Contra Mundi dengan para Tentara Langit. Tapi pencarian ini tidak mudah...